Terbentang dari tahun 1644 hingga 1912, saat itu merupakan dinasti kekaisaran terakhir China.
Selama periode Qing, China melipatgandakan ukuran tanah dan meningkatkan populasinya dari 150 juta menjadi 450 juta.
Perkembangan besar dalam perdagangan dan budaya terjadi sejak awal, tetapi pada akhir abad ke-19 para penguasa berjuang untuk mengatur populasi besar-besaran, yang mengarah pada inefisiensi dan korupsi pemerintah.
Revolusi, campur tangan kolonial dan kerusuhan sosial akhirnya menyebabkan kehancuran dinasti.
Dinasti itu tidak bertahan lama, tetapi beberapa seninya bertahan.
Porselen menjadi salah satu bentuk seni utama pada zaman itu, yang digambarkan oleh Encyclopedia Britannica sebagai menampilkan "penguasaan teknis yang tinggi bahkan hingga hampir menghilangkan tanda tangan pembuat tembikar."
Kemahiran tersebut terlihat pada vas yang dimaksud, yang gemerlap dengan penggambaran awan, bangau, kipas, seruling, dan kelelawar.
Potongan itu bukan temuan keramik China pertama yang sangat berharga dalam beberapa tahun terakhir.
Pada tahun 2010, seorang wanita Inggris menemukan vas Dinasti Qing saat membersihkan rumah saudara perempuannya; yang kemudian diambil $83 juta (sekitar Rp1,21 triliun) di lelang, melansir Associated Press (AP) pada saat itu.
Lalu pada tahun 2020, menurut CNN, seorang pria Amerika membeli mangkuk Cina abad ke-15 seharga $35 pada penjualan halaman yang kemudian dijual di lelang seharga $721.800 (sekitar Rp10,5 miliar).
Usia objek bukanlah daya tarik utama bagi calon kolektor, namun nilai sebenarnya terletak pada keahliannya.
Warna kobalt yang kaya pada eksterior karya seni ini disebut ‘biru pengorbanan’, dinamai sesuai dengan warna yang sama di bagian Kuil Surga Beijing.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR