Intisari-Online.com - Dinasti Ming Tiongkok runtuh pada tahun 1644 dengan kaisar Chongzhen sebagai kaisar terakhirnya.
Runtuhnya Dinasti Ming dimulai ketika terjadi pemberontakan terhadap Dinasti Ming dan terjadinya invasi Manchu.
Sebelum Kaisar Chongzhen naik takhta, Dinasti Ming dikuasai oleh orang-orang korup.
Misalnya Wei Zhongxian yang terkenal sebagai salah satu kasim paling dibenci dan paling korup dalam sejarah Tiongkok.
Selama masa pemerintahan Kaisar Tianqi, kaisar Dinasti Ming sebelum Kaisar Chongzhen, semua dekrit kekaisaran disampaikan oleh Wei, bahkan dikeluarkan atas nama kaisar dan namanya.
Begitu Kaisar Chongzhen naik takhta, ia berusaha menyingkirkan orang-orang korup dan mereka yang kemungkinan mengancam pemerintahan.
Namun, korupsi internal selama bertahun-tahun dan perbendaharaan yang kosong membuat hampir tidak mungkin menemukan menteri yang cakap untuk mengisi jabatan penting pemerintah.
Kemudian, kehancuran Dinasti Ming tak terhindarkan ketika terjadi pemberontakan petani dan invasi Manchu.
Baca Juga: Firasat Bersin Jam 7 Malam Menurut Primbon Jawa, Dijamin Bikin Senyum-senyum Sendiri, Ini Artinya
Ketika akhirnya pasukan Dinasti Ming tak sanggup membendung pemberontakan rakyat dan melakukan perlawanan terhadap penguasa Manchu, kaisar Chongzhen gantung diri.
Li Zicheng, pemimpin pemberontakan rakyat, sempat menawarkan kaisar kesempatan untuk menyerah, tetapi negosiasi tidak membuahkan hasil.
Alih-alih menghadapi penangkapan oleh para pemberontak, Kaisar Chongzhen memilih untuk mengumpulkan semua anggota keluarga kekaisaran kecuali putra-putranya.
Dalam peristiwa itu, salah satu anggota keluarga kaisar yang diseret menemui kematian adalah putri Changping.
Dia adalah salah satu putri Kaisar Chongzhen, yang lahir dari Selir Wang dan dibesarkan oleh istri kaisar yang lainnya, Permaisuri Zhou, setelah Permaisuri Wang meninggal.
Ketika Changping berusia 16 tahun, ayahnya mengatur pernikahannya dengan Zhou Xian, seorang perwira militer.
Namun, pernikahan mereka dibatalkan karena Li Zicheng dan pasukan pemberontaknya mendekati ibu kota, Beijing.
Alih-alih menikah, Putri Changping justru hampir menemui ajal ketika sang ayah berusaha membunuhnya.
Baca Juga: Jadwal Lengkap PPDB Sumut 2022 untuk SMA/SMK, Catat Jangan Sampai Terlewat!
Konon, sang kaisar berteriak pada Changping, "Mengapa kamu harus dilahirkan di keluarga ini?", kemudian mengayunkan pedangnya ke arahnya, memotong lengan kirinya.
Tetapi, Changping hanya pingsan karena kehilangan darah, dan ternyata mampu sadar kembali lima hari kemudian dan selamat.
Sementara ayahnya telah tewas bunuh diri dengan gantung diri, Putri Changping diselamatkan oleh seorang menteri Ming yang berusaha untuk menyerahkannya kepada kaisar Manchu yang telah menggulingkan Li Zi Cheng dan mendirikan Dinasti Qing di Cina.
Kisah Putri Changping ini pun ditampilkan dalam opera Kanton pada tahun 1957 di Hong Kong.
Melansir chinatownology.com, setelah diserahkan kepada Kaisar Manchu, sang putri berhasil melarikan diri dan bersembunyi di sebuah biara.
Setelah itu, ia dipertemukan kembali dengan pangeran permaisurinya, Zhou Xian.
Pasangan itu datang dengan rencana untuk menawarkan diri mereka sebagai sandera ke istana Qing dengan syarat bahwa pengadilan Qing mengatur pemakaman yang layak untuk mendiang Kaisar Chong Zhen dan membebaskan mantan Putra Mahkota Ming, saudara tiri Putri Chang Ping.
Bagi kaisar Qing, itu adalah publisitas politik yang hebat.
Dengan mengadakan pernikahan untuk putri Ming dan mengadopsi dia sebagai putri angkat (pada kenyataannya sebagai sandera), pengadilan Qing mampu menunjukkan bahwa mantan keluarga kekaisaran telah tunduk dan menerima kekuasaan Qing di Cina.
Setelah Kaisar Qing memenuhi janjinya, Putri Changping dan Zhou Xian menikah di istana.
Tetapi, pada malam pernikahan, mereka bunuh diri dengan saling memanggang anggur pernikahan beracun.
Adegan tragis itu jugalah yang dilakukan di bagian terakhir opera dan dianggap sebagai salah satu sorotan terpenting opera.
Dalam adegan itu, Putri Changping bertanya siapa yang ingin darah mengalir seperti lilin yang menetes di malam pernikahan meratapi akhir hidupnya bersama sang pangeran permaisuri.
Dia kemudian bernyanyi tentang menggunakan mahkota phoenix-nya sebagai pakaian pemakaman.
Ia mengungkapkan kesedihan bahwa Pangeran Permaisuri tercinta harus mati bersamanya dan bagaimana makam mereka akan menjadi kamar pengantin mereka.
Itulah kisah tragis putri kaisar terakhir Dinasti Ming, Putri Changping.
Baca Juga: Cara Menghitung Weton Sebelum Menikah, Seberapa Cocok Pasangan Anda?
Baca Juga: Sebutkan Prasasti Peninggalan Kerajaan Tarumanegara, Ini Ada Tujuh!
(*)