Intisari-Online.com - Terkenal punya banyak utang, kondisi ekonomi Sri Lanka itu baru-baru ini membuat kemarahan rakyat negara tersebut pecah.
Pada 31 Maret lalu, ratusan pengunjuk rasa yang dikerahkan oleh aktivis media sosial tidak dikenal mencoba menyerbu rumah Presiden Gotabaya Rajapaksa dan menuntut pengunduran dirinya.
Dilaporkan kantor berita AFP, Untuk mengatasi massa, bahkan polisi harus menembakkan gas air mata dan meriam air.
Setidaknya satu orang terluka parah dan ibu kota Colombo kemudian menerapkan jam malam.
Situasi terus berubah, hingga Sri Lanka dilaporkan menjadi bangkrut.
Pada 3 April, kabinet Sri Lanka mengundurkan diri dalam pertemuan larut malam.
Rajapaksa juga kemudian kehilangan mayoritas parlementernya, lalu dia mengumumkan keadaan darurat.
Puluhan ribu orang mengepung kantor presiden dalam demo Sri Lanka terbesar hingga saat ini pada 9 April, menuntut Rajapaksa mengundurkan diri.
Terbaru, pada Selasa (12/4/2022) diumumkan bahwa Sri Lanka gagal bayar utang 51 miliar dollar AS (Rp 732 triliun) yang dipinjamnya dari luar negeri.
Negara pulau berpenduduk 22 juta orang itu juga mengalami kekurangan makanan, bahan bakar, dan kebutuhan pokok lainnya yang akut.
Krisis Sri Lanka menimbulkan kesengsaraan yang meluas, menjadi kondisi terburuk sejak kemerdekaan dari Inggris pada 1948.
Dilaporkan gagal membayar utang, rupanya salah satu kreditur terbesar Sri Lanka adalah China.
Pemerintah Sri Lanka meminjam Beijing untuk sejumlah infarstruktur proyek sejak 2005, melalui skema Belt and Road (BRI), salah satunya untuk pembangunan pelabuhan Hambantota.
Mengutip Times of India, total utang Sri Lanka ke China mencapai US$ 8 miliar. Sekitar 1/6 dari total utang luar negerinya.
Namun sayangnya sebagian proyek dinilai tak memberi manfaat ekonomi bagi negara itu.
China juga meminta jatah ekspor produk mereka ke Sri Lanka senilai US$ 3,5 miliar.
"Dari awal, kecerobohan meminjam dari China buat infrastruktur yang tak menguntungkan membuat negara itu di titik ini," tulis media itu mengutip laporan Hong Kong Post.
Mengutip BBC, pemerintah Sri Lanka pada awal tahun ini mencoba melobi Beijing untuk restrukturisasi utang.
Namun diketahui, China telah menolak restrukturisasi utang tersebut dan itu semakin menambah beban negara Sri Lanka.
China bukan satu-satunya negara yang meminjamkan uang ke Sri Lanka. Negara lainnya ada India dan Jepang.
Salah satu faktor penyebab krisis Sri Lanka sendiri yaitu ketergantungan negara ini terhadap impor.
Negara tersebut masih melakukan impor ke bahan-bahan pertanian seperti pupuk dan bahan bakar.
Masalah diperburuk dengan kenaikan harga komoditas global, yang menyebabkan harga ikut naik. Sehingga hal itu pun membebani biaya impor Sri Lanka.
Belum lagi nilai mata uang yang terus longsor, dan cadangan devisa negara itu pun merosot.
Sementara itu, Sri Lanka yang sangat bergantung ekonominya dari pariwisata mengalami kesulitan dalam sektor ini karena hantaman pandemi Covid-19.
(*)