Selama Ini Jadi Negara Paling Berpengaruh di Dunia, AS Kini Harus Akui Hegemoninya di Asia Pasifik Terkikis, Dikalahkan China?

May N

Penulis

Ilustrasi perang dagang Amerika dan China. KONTAN/Fransiskus Simbolon/16/05/2019
Ilustrasi perang dagang Amerika dan China. KONTAN/Fransiskus Simbolon/16/05/2019

Intisari - Online.com -Amerika Serikat (AS) berupaya keras untuk mempertahankan pengaruh mereka di dunia, salah satunya di Asia Pasifik.

Hal ini terlihat dari upaya Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada pekan kedua Februari 2022 yang sambangi beberapa negara di kawasan Pasifik.

Kedatangannya untuk menegaskan komitmen AS pada negara-negara di kawasan, sekaligus mematahkan upaya hegemoni China.

Perjalanan Blinken ke Fiji dan beberapa negara di Kepulauan Pasifik dilakukan untuk merespons pertemuan China dan Rusia yang mendeklarasikan kemitraan strategis tanpa batas sebelum Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022 dibuka.

Tak hanya itu, kunjungan Blinken ke Pasifik terkait rencana China untuk meningkatkan keberadaan landasan pacu di salah satu pulau terpencilnya, tak jauh dari Hawaii.

Bila hal ini terealisasi, China akan menjejakkan kaki jauh dari wilayah teritorialnya, memasuki kawasan yang selama ini berada dalam pengaruh AS semata.

Hanya berselang satu bulan setelah kunjungan Blinken, AS dan sekutunya di Pasifik seperti Australia dan Selandia Baru dikejutkan dengan kepastian adanya kerja sama militer Pemerintah Kepulauan Solomon dengan China.

Draf perjanjian itu menyebutkan, adanya lampu hijau untuk pengerahan pasukan keamanan dan Angkatan Laut China, termasuk kapal perang Negeri Tirai Bambu itu, ke wilayah Solomon.

Kala itu Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare mengatakan, draf rancangan kerja sama siap ditandatangani.

Dia membantah ada tekanan dari pihak luar kepada Pemerintah Kepulauan Solomon untuk bekerja sama dengan Beijing.

“Perjanjian keamanan ini dibuat atas permintaan Pemerintah Kepulauan Solomon. Kami tidak mendapat tekanan sama sekali dari negara mitra,” katanya.

Pernyataan Sogavare soal kesiapan untuk menandatangani kerja sama dengan Beijing menampar muka Gedung Putih.

Sebagai negara yang selama ini dinilai memiliki pengaruh kuat atas negara-negara di Kepulauan Pasifik, keputusan Sogavare bekerja sama dengan China dalam bidang militer dinilai akan mengganggu dan merusak pengaruh AS, serta mengganggu sekutu-sekutu dekatnya seperti Australia dan Selandia Baru.

Setelah beberapa saat menjabat, Presiden AS Joe Biden menyatakan, mengambil langkah berbeda dengan pendahulunya, Donald Trump.

Seperti halnya mantan Presiden Barrack Obama, Biden lebih menyukai tumbuh-kembangnya multilateralisme dan aliansi. Untuk itulah, dia menyerukan "Amerika telah kembali" dalam pidatonya di Gedung Putih pada 4 Februari 2021, beberapa pekan setelah dilantik.

Biden menyatakan, AS muncul kembali dan lebih siap untuk menyatukan dunia, bersama-sama membela demokrasi.

Bersama sekutu-sekutunya seperti Kanada, Inggris, Perancis, NATO, Jerman, Jepang, Korea Selatan, dan Australia, AS bertekad untuk menjalin kerja sama lebih erat, membangun kembali aliansi yang telah berhenti berkembang selama masa Trump.

Selama Trump berkuasa, taipan pemilik bisnis real estate ini tercatat mengikis 75 tahun kepemimpinan AS di panggung global.

Dengan slogan yang memenangkan hati pemilih AS, yaitu America First, dia membuat Negeri Paman Sam ini keluar dari berbagai forum multilateral, mengkritik mitra aliansinya, dan meremehkan institusi ekonomi internasonal.

Ketika Obama berkuasa, Australia menyambut kedatangan AS ke Asia Pasifik dan menyebutnya sebagai poros atau penyeimbang kembali Asia.

Namun, saat Trump berkuasa dan menarik diri dari berbagai kerja sama multilateral, tindakan ini dibaca sebagai sinyal bahwa Washington tidak lagi mampu dan mau membuat komitmen yang kredibel untuk Asia-Pasifik.

Francis Fukuyama, ilmuwan politik Amerika Serikat, dalam kolomnya di The Economist (November 2020) memandang, saat ini hegemoni AS di dunia merosot tajam.

Puncak hegemoni AS di seluruh dunia telah lewat, dan hanya berlangsung lebih kurang selama dua dekade, yaitu era 1990-an hingga krisis keuangan tahun 2007-2009.

“Amerika Serikat pada waktu itu sangat dominan, tidak hanya dalam kekuatan, tetapi juga militer, ekonomi, hingga budaya,” katanya.

Robert Kagan, peneliti senior pada lembaga penelitian Brookings Institution, dikutip dari laman Foreign Policy menyatakan, AS yang memiliki kekuatan militer, ekonomi, dan budaya pasca-Perang Dingin memberikan pengaruh kuat pada negara-negara lain dengan kehadirannya di satu kawasan atau wilayah tertentu.

Sederhananya, menurut Kagan, cara kerja AS untuk memengaruhi mirip dengan cara benda yang lebih besar di ruang angkasa memengaruhi perilaku benda yang lebih kecil melalui tarikan gravitasinya.

Ilmuwan hubungan internasional, John Ikenberry, sejak dua dekade lalu mengingatkan tentang kemungkinan penurunan hegemoni AS ini bila “faktor-faktor” yang mendukung hegemoni itu tidak dijaga.

Perkembangan kawasan Asia Pasifik, mulai dari Asia Timur hingga Asia Tenggara, tidak terlepas dari hubungan timbal balik AS dan mitra strategisnya di Asia.

AS menjadi payung dan menjaga kawasan yang bertransformasi menjadi sebuah kawasan yang menarik untuk dijelajahi, setelah berjibaku dengan perang, pergolakan politik, demokratisasi hingga krisis ekonomi.

Tatanan Asia Pasifik saat ini tidak terlepas dari hubungan timbal balik, yang disebut Ikenberry sebagai hub-and-spoke, dan menimbulkan sistem interdependensi politik serta ekonomi yang kompleks.

Negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang secara ekonomi kuat seperti Korea Selatan, Jepang, Singapura, Hong Kong, dan Australia, mendapat perlindungan serta akses ke pasar AS yang besar.

Timbal baliknya, AS mendapatkan mitra strategis dan jangkar di garis depan dan pengaruh di kawasan.

Baca Juga: Termasuk Senjata Super Gila Milik Uni Soviet, Ternyata Negeri Beruang Merah Ini Pernah Punya Senjata yang Bisa Menembak Musuh dari Luar Angkasa

Artikel Terkait