Intisari-online.com - Saat ini dunia dipusingkan dengan konflik Rusia-Ukraina yang berimbas pada sanksi ekonomi oleh Barat pada AS.
Sanksi tersebut, rupanya memberi efek domino pada minyak dan gas dunia, yang harganya kian melambung.
Pasalnya, diketahui Rusia merupakan negara penghasil minyak dan gas terbesar dunia saat ini.
Untuk mengembalikan kestabilan ini, Amerika harus mencari pengganti yang setara dengan Rusia.
Salah satunya adalah Iran yang disebut-sebut memiliki potensi sebagai pengganti Rusia.
Meski demikian, tampaknya hal ini sulit terjadi pasalnya Amerika dalam beberapa tahun terakhir mengembangkan sikap bermusuhan dengan Iran.
Amerika berulang kali menjatungkan sanksi ekonomi ke Iran, kemudian membatasi aktivitas nuklir, hingga sempat membuat marah Iran dengan membunuh jenderal Qasem Soleimani.
Menurut, Ketua Komite Energi Kamar Dagang dan Industri Iran, Reza Padidar, mengatakan Iran sepenuhnya mampu mengisi celah yang ditinggalkan Rusia di pasar minyak global, terkait sanksi AS dan Barat.
Padidar mengatakan bahwa negara-negara konsumen minyak utama dunia mulai merasakan dampaknya, karena perdagangan dengan Rusia menjadi sulit karena tekanan AS.
Pekan lalu, seorang pejabat AS yang tidak disebutkan namanya memperingatkan bahwa Washington dapat menghukum India jika membeli terlalu banyak minyak dari Rusia.
Minyak Rusia menyumbang 8% dari pasar global, tetapi fakta bahwa banyak mitra, terutama Barat, berpaling dari minyak Rusia telah menyebabkan permintaan global akan minyak meroket, yang menyebabkan harga jual minyak terus-menerus rendah.
AS dan sekutunya telah melakukan banyak upaya untuk mengendalikan harga minyak.
Presiden AS Joe Biden mengumumkan pekan lalu, AS mengeluarkan sekitar 1 juta barel minyak per hari dari cadangan strategis dan berlangsung selama 180 hari.
Langkah ini membantu harga minyak berfluktuasi pada 100-110 dollar AS/barel, namun masih relatif tinggi dibandingkan 60 dollar AS/barel tahun lalu.
Padidar mengatakan upaya AS luar biasa, tetapi tidak dapat dipertahankan untuk waktu yang lama, menurut kantor berita Iran, IRNA.
Tanpa tindakan jangka panjang, harga minyak cepat atau lambat akan naik.
"Untuk menghindari skenario ini, diperlukan pemasok dengan kapasitas yang sama dengan Rusia, mengisi pasar global. Iran sepenuhnya mampu menjadi pemasok seperti itu," kata Padidar.
Menurut data 2016, Iran merupakan negara dengan cadangan minyak terbesar keempat di dunia, mencapai 157 miliar barel, di belakang Kanada, Arab Saudi, dan Venezuela.
Rusia menempati urutan ke-8 dengan cadangan minyak 80 miliar barel.
Iran hampir tidak bisa mengekspor minyak ke dunia karena sanksi AS terkait program nuklirnya.
Di bawah Presiden AS Joe Biden, Iran berharap dapat mencapai kesepakatan nuklir jangka panjang dengan AS, mencabut sanksi sehingga dapat kembali mengekspor minyak.
Menurut CNN, AS telah mempertimbangkan untuk "menghapus pembatasan" terkait ekspor minyak dari Iran dan Venezuela, tetapi para pihak sejauh ini belum mencapai konsensus.
Pada tanggal 4 April, negosiasi antara Amerika Serikat dan Iran dihentikan, meskipun kedua pihak sebelumnya hampir mencapai kesepakatan.
"AS memikul tanggung jawab penuh atas penghentian negosiasi," kata Saeed Khatibzadeh, juru bicara kementerian luar negeri Iran, menurut Reuters.
"Washington harus membuat keputusan politik untuk menghidupkan kembali perjanjian itu," kata Khatibzadeh, seraya menambahkan bahwa "Iran tidak bisa menunggu selamanya."
Departemen Luar Negeri AS mengatakan kedua pihak masih memiliki beberapa ketidaksepakatan kecil mengenai kesepakatan nuklir, dan mencapai kesepakatan tergantung pada Iran, menurut Reuters.
Salah satu syarat yang Iran ingin agar AS setujui, termasuk perjanjian mengikat jangka panjang yang tidak dapat dibatalkan oleh presiden AS di masa depan, menghindari situasi seperti saat Presiden Donald Trump berkuasa.