Intisari-Online.com - Sudah banyak yang tahu apabila Rusia dan China adalah negara sekutu.
HubunganRusia dan China pun sudah berlangsung bertahun-tahun.
Namun sepertinya hubungan kedua negara berubah pasca perang Rusia dan Ukraina.
Dilansir dariexpress.co.uk pada Senin (28/3/2022), Presiden China Xi Jinping tampaknyatelah kehilangan kesabaran dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Adakah masalah di antara dua pemimpin negara adidaya itu?
Sampai sekarang, Presiden Xi Jinping menjadi pendukung setia dan sekutu kunciPresiden Putin dalam perjuangannya untuk melawan Barat.
Sebelum invasi Putin ke Ukraina, kedua pemimpin bertemu di Beijing menjelang Olimpiade Musim Dingin, di mana mereka menegaskan kembali komitmen mereka satu sama lain.
Dalam pernyataan bersama, baik Xi dan Putin menyatakan "tidak ada batasan" antara Moskow dan Beijing.
Namun, ada tanda-tanda bahwa Beijing mungkin mengevaluasi kembali hubungannya dengan Moskow.
Sinopec Group yang dikelola pemerintah China telah menarik diri dari kesepakatan senilai 500 juta Dollar AS (Rp7,1 triliun).
Padahal kesepakatan itu untuk memasarkan gas Rusia untuk Sibur di China.
Ini terjadi karena Rusia takut gas Rusia itu akan menjadi sasaran sanksi ekonomi yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS) cs kepada mereka.
Apalagi salah satu direktur dan investor Sibur adalah Gennady Timchenko, sekutu jangka panjang Putin.
Timchenko telah diberi sanksi oleh Barat setelah aneksasi Rusia atas Krimea pada tahun 2014.
Inggris memberlakukan sanksi lebih lanjut terhadap miliarder Rusia pada Februari setelah keputusan Putin untuk mengerahkan pasukan ke republik-republik Donestk dan Luhansk yang memisahkan diri di Ukraina timur.
Keputusan Sinopec muncul setelah menghadiri pertemuan di Kementerian Luar Negeri.
China National Petroleum Corp (CNPC) dan China National Offshore Oil Corp (CNOOC) juga hadir.
Ini karena bos perusahaan diminta untuk mengevaluasi hubungan mereka dengan Rusia dan berhati-hati dalam urusan bisnis mereka dengan negara tersebut.
Seorang eksekutif di Sinopec mengatakan kepada Reuters: "Perusahaan akan secara tegas mengikuti kebijakan luar negeri Beijing dalam krisis ini."
“Tidak ada ruang sama sekali bagi perusahaan untuk mengambil inisiatif dalam hal investasi baru.”
Pembatalan investasi dari perusahaan energi China ini merupakan pukulan besar bagi Putin secara pribadi dan ekonomi Rusia.
Sebab Putin dan Rusiasangatmengandalkan bantuanChina dalam mengatasi sanksi Barat.
Diketahui dana keuangan utamaKremlin, yang mendanai perang, berasal dari penjualan bahan bakar fosil.
Beijing telah membantu Rusia untuk memperluas dan mengembangkan sektor energinya dalam beberapa tahun terakhir.
Investor China juga telah membantu mengkatalisasi pengembangan proyek gas alam cair (LNG) di Far North Rusia.
Secara khusus, entitas China memainkan peran kunci dalam membantu Novatek, produsen gas alam independen terbesar di Rusia, mengirimkan Yamal LNG tepat waktu dan sesuai anggaran pada Desember 2017 meskipun ada sanksi Barat.
Pengembangan Yamal LNG mendukung tujuan Moskow untuk mendiversifikasi ekspor gas alam Rusia melalui LNG.
Apa yang terjadi antara Rusia dan China, mungkin ada hubungannya dengan Presiden AS Joe Biden.
Di manaJoe Biden mencoba membujuk Beijing untuk meninggalkan dukungannya untuk Moskow setelah menelpon Presiden Xi Jinping.
"Saya tidak membuat ancaman tetapi saya menjelaskan kepadanya - memastikan dia memahami konsekuensi dari membantu Rusia," kata Biden.
"Saya menunjukkan jumlah perusahaan Amerika dan asing yang meninggalkan Rusia sebagai konsekuensi dari perilaku barbar mereka."
Pemerintahan Biden telah menekan China untuk menahan diri dari mendukung Rusia termasuk dengan membantunya melawan sanksi Barat dan memberikan bantuan militer.
China sendiri tidak mengutuk tindakan Rusia di Ukraina, meskipun telah menyatakan keprihatinan mendalam tentang perang serta tentang sanksi Barat, yang dianggap kontra-produktif dan sepihak.