Di Zaman Romawi Kuno, Orang yang Ingin Bunuh Diri Harus Izin ke Senat, Ini Golongan yang Diperbolehkan dan Konsekuensi yang Dihadapinya

Tatik Ariyani

Penulis

Kematian Seneca (1684), lukisan karya Luca Giordano, menggambarkan bunuh diri Seneca Muda di Roma Kuno.
Kematian Seneca (1684), lukisan karya Luca Giordano, menggambarkan bunuh diri Seneca Muda di Roma Kuno.

Intisari-Online.com -Tindakan seseorang untuk mengakhiri hidupnya atau bunuh diri kerap berkaitan erat dengan masalah kesehatan mental, seperti depresi, dan bisa terjadi pada siapapun.

Hingga saat ini, bunuh diri masih menjadi masalah serius di seluruh dunia.

Oleh karenanya, penting untuk mengenali tanda-tanda bunuh diri agar langkah pencegahan dapat dilakukan.

Di zaman Romawi kuno, bunuh diri dilihat sebagai hukum yang tidak memiliki konsekuensi hukum.

Jika seorang warga negara Romawi ingin bunuh diri, dia bisa melakukannya, dengan beberapa pengecualian.

Budak, tentara, dan orang yang dijatuhi hukuman mati karena kejahatan terberat tidak dapat memutuskan untuk bunuh diri.

Jika seorang budak bunuh diri, dia kehilangan “harta” miliknya.

Bunuh diri seorang prajurit sama dengan desersi; sebaliknya.

Baca Juga: Bak Mimpi Buruk Bagi Roma, Inilah Spartacus, Mantan Gladiator dan Budak Romawi yang Pimpin Pemberontakan 100.000 Budak Demi Sebuah Kebebasan, Jadi Inspirasi Kaum Revolusioner

Baca Juga: Misteri Legiun Romawi yang Hilang Usai Pemimpinnya yang Serakah Dihukum Minum Emas Cair Melalui Tenggorokan, 42.000 Tentaranya ke Mana?

Sementara persetujuan hukum untuk bunuh diri bagi seorang penjahat yang dihukum karena pelanggaran berat sama dengan merampas hak negara untuk meminta pertanggungjawaban individu.

Valerius Maximus dalam karyanya Factorum et dictorum memorabilium libri novem (2, 6.7-8) menyebutkan bahwa di koloni Yunani Massalia (sekarang Marseille) ada kebiasaan bahwa penduduk koloni meminta pertimbangan positif kepada pihak berwenang yakni bunuh diri.

Jika diizinkan, pihak berwenang menyediakan hemlock, yang bisa diminum atau dioleskan ke pedang.

Dalam kasus ini, senat lokal dilaporkan mendekati permintaan warga dengan sangat rasional dan baik hati, tidak membiarkan bunuh diri.

Sebaliknya, upaya lain telah dilakukan untuk mengatasi masalah warga yang mengajukan permintaan bunuh diri.

Ada pendekatan serupa dalam masyarakat Romawi untuk dapat melakukan bunuh diri, seseorang harus memiliki alasan yang masuk akal dan persetujuan dari senat.

Meningkatnya jumlah kasus bunuh diri mengharuskan pihak berwenang untuk mengambil pendekatan ini.

Bunuh diri tanpa alasan dihukum dengan melakukan pemakaman yang tidak layak dan dengan demikian mengutuk jiwa ke perjalanan abadi.

Baca Juga: Salah Satunya Malah Pernah Dibikin Kocar-kacir oleh Pendiri Majapahit, Inilah Daftar Negara yang Pernah Permalukan Rusia dalam Perang

Baca Juga: Ciptakan 'Badai Panah' yang Terlihat Seperti Fenomena Alam, Ternyata Inilah Rahasia Sukses Genghis Khan Hampir Taklukkan Seisi Bumi

Menurut hukum Digesta Iustiniani dari awal abad ke-6 M, alasan yang masuk akal untuk bunuh diri adalah, misalnya, rasa sakit yang konstan dan parah, penyakit, orang gila, ketakutan akan hidup atau kehilangan kehormatan.

Hukum Romawi juga mengatur masalah properti setelah kematian seorang warga negara.

Jika seorang warga negara dijatuhi hukuman mati, hartanya diserahkan kepada negara.

Untuk tujuan ini, terdakwa, yang sedang menunggu persidangan dan hukuman, bisa menghindari kehilangan harta benda oleh keluarga dengan melakukan bunuh diri.

Baca Juga: Muncul Pesawat Keluarkan Asap di Jakarta, Disebut-sebut Menyebabkan Banyak Penyakit, Ternyata ini Kebenaran di Baliknya

Baca Juga: Sebelum Bunuh Diri dengan Lompat dari Lantai 8, Novi Amelia Sempat Alami Berbagai Masalah Hingga Jalani Perawatan Kejiwaan, Buktikan Masalah Mental Tidak Boleh Disepelekan

Celah hukum ini telah dihapus di bawah Kaisar Domitianus (81-96 M).

Artikel Terkait