ASEAN Terpecah: Kamboja Tawarkan Janji Manis Kepada Pemimpin Junta Militer Myanmar, Tapi Indonesia dan Dua Negara Ini Sepakat Ingin Hukum Min Aung Hlaing, Begini Kondisinya

May N

Editor

Presiden China Xi Jinping (kanan) dan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen (kiri). Sering disebut tangan kanan Xi Jinping, Hun Sen malah kini menjadi pemimpin ASEAN
Presiden China Xi Jinping (kanan) dan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen (kiri). Sering disebut tangan kanan Xi Jinping, Hun Sen malah kini menjadi pemimpin ASEAN

Intisari - Online.com -Dalam debat internal ASEAN mengenai apakah Myanmar ditawari bantuan atau sikap yang keras, negara-negara yang memberi sikap tegas tampaknya memiliki posisi lebih tinggi, setidaknya untuk sekarang.

Pengumuman oleh Kamboja minggu ini mengatakan jika junta akan tetap dilarang menghadiri pembicaraan ASEAN.

Kamboja adalah ketua ASEAN untuk saat ini, tapi pengumuman itu jelas menunjukkan jika sikap Indonesia, Malaysia dan Singapura tetap menjadi sikap utama yang diambil oleh ASEAN, seperti dikutip dari South China Morning Post.

"Penolakan ASEAN terhadap junta sangat penting," ujar Matthew Smith, CEO dari kelompok kampanye Asia Tenggara Fortify Rights.

"Ada banyak yang mengendarai bagaimana ASEAN merespon kepada atrositas di Myanmar dan biaya kerumitan di tahap ini dapat tinggi untuk blok ini," ujarnya.

Malaysia, Singapura dan Indonesia adalah tiga anggota pendiri yang berpengaruh di ASEAN.

Ketiganya telah sangat vokal beberapa bulan terakhir mengenai menggunakan pendekatan lebih keras untuk menghukum pemimpin junta, Min Aung Hlaing.

Hal ini menurut ketiga negara sesuai dengan kesepakatan perdamaian lima poin yang disetujui April lalu.

Baca Juga: Polisi dan Tentara Punya 'Porsi' Kekuasaan Tak Kasat Mata, Media Luar Beberkan Bangkitnya Kekuasaan Militer di Indonesia yang Bisa Lebih Kacau Dibandingkan Junta Militer Myanmar

Baca Juga: Hampir Satu Tahun Junta Militer Myanmar Gerogoti Negara Itu, Uni Eropa Hukum Cukong Minyak dan Gas Myanmar, Dicurigai Jadi Sumber Dana Aktivitas Junta Militer, Tapi Ternyata Terkendala Ini

Namun pemimpin Kamboja, Hun Sen, menyetir ASEAN ke arah berbeda dengan sinyalnya sejak Desember lalu yang yakin keterlibatan akan bekerja lebih baik.

Upayanya termasuk kunjungan dua hari, 7-8 Januari untuk mengunjungi Myanmar, yang tidak diberi sanksi oleh ASEAN.

Hal ini mendapatkan sebuah respon tajam dari negara-negara yang menasihati untuk hubungan lebih keras dengan Min Aung Hlaing.

Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah menunjuk pentingnya ketua ASEAN "berkonsultasi dengan lainnya kapan pun mereka ingin melakukan sesuatu yang dianggap signifikan".

Akhirnya, Kamboja dipaksa menunda pertemuan para menteri luar negeri yang awalnya dijadwalkan pada 18-19 Januari karena beberapa pemerintahan mengatakan mereka tidak akan hadir, dengan alasan bentrokan jadwal.

Sumber diplomatik kemudian mengkonfirmasi jika penundaan ini adalah tindakan "cari aman", seperti beberapa kementerian mengindikasikan jika mereka tidak akan menghadiri sebagai bentuk boikot atas aksi Hun Sen.

Kemunduran Hun Sen berikutnya diperkuat dengan pengumuman Kementerian Luar Negeri Kamboja jika diplomat top junta, Wunna Maung Lwin, tidak akan diundang ke pembicaraan yang tertunda itu, yang kini akan diadakan dari 16 sampai 17 Februari.

Junta justru diminta mengirimkan "perwakilan non-politik" untuk pertemuan para menteri luar negeri itu.

Baca Juga: Luput Dari Perhatian Dunia, Junta Militer Myanmar Terima Gelonggongan Senjata Pemusnah Massal Dari Musuh Abadi Amerika Serikat Ini, Aktivitas Pasukan Mematikan Ini Kian Mencurigakan

Baca Juga: Heboh 'Nusantara' Jadi Nama Ibu Kota Negara Baru, Ibu Kota Negara MyanmarIni Malah Berakhir Jadi Kota Hantu, Padahal Sudah Pindahkan 1.000 Kuburan

Mundurnya aksi Kamboja terhadap Myanmar diterima dengan sukacita oleh pendukung Pemerintahan Nasional Bersatu (NUG) yang menantang legitimasi junta.

Namun beberapa pengamat ASEAN tetap tidak yakin jika sikap keras terhadap Myanmar akan bekerja.

Bilahari Kausikan, pensiunan diplomat senior Singapura, mengatakan sebuah kegagalan untuk melibatkan Dewan Administrasi Negara, julukan junta itu, akan menuntun kepada semakin terpinggirkannya ASEAN dalam proses deeskalasi.

Sejak sepakat dalam rencana Konsensus Lima Poin April 2021 lalu, Min Aung Hlaing telah membuat pengakuan pendek atas perjanjian itu, yang menetapkan atas hal lain, penghentian dari kekerasan dan pasukan khusus ASEAN harus diperbolehkan mengunjungi Myanmar dan memiliki semua akses ke "semua pihak".

Junta belum menerima seorang utusan, dan mengatakan ketika orang itu diakui nantinya tidak akan memiliki akses ke anggota Liga Nasional untuk Demokrasi yang sebelumnya berkuasa, termasuk pemimpinnya, Aung San Suu Kyi.

"Jika Anda ingin bermain semacam peran dalam kependudukan apapun, Anda harus berhadapan dengan junta militer dan tidak menghindarinya. Anda tidak bisa duduk di kuda Anda yang tinggi terus-terusan," ujar Bilahari.

Hun Sen, dengan berbagai kontroversinya termasuk kunjungan ke Myanmar Januari lalu, telah mendapatkan "ketenaran reputasi" atas nama ASEAN, papar Bilahari.

"Ia telah memberikan pembukaan kepada Anda untuk mendaki turun dalam biaya politik kecil atau reputasi kepada Anda sendiri. Bodoh jika tidak mengambilnya," ujar mantan utusan senior itu.

Baca Juga: Pernah Ditaklukan Majapahit Hingga Pernah Dicaplok Indonesia Pasca Kemerdekaan, Rupanya 6 Negara Ini Pernah Jadi Bagian dari Indonesia, Sebagian Besar di Asia Tenggara?

Baca Juga: 'Gak Ada Progressnya', Perdana Menteri Singapura Julid Terhadap Langkah Pemimpin ASEAN Bawa Perdamaian di Myanmar, Ini Sebabnya Kamboja Dinyinyirin Habis-habisan Setelah Pimpin ASEAN

"Cepat atau lambat Anda harus turun juga dan menghadapi junta dan berbagai kondisinya adalah biaya reputasi dan politiknya akan lebih mahal."

'Pendekatan halus' tidak bekerja

Sentimen di media sosial dan di dalam lingkar kecil komentator ASEAN kontras dengan pandangan Bilahari.

Bunna Van dari Institut Kerjasama dan Perdamaian Kamboja mengatakan ASEAN "tidak punya pilihan lebih baik" saat kesepakatan sebelumnya ketika Phnom Penh telah coba menghasilkan hasil yang gagal.

Perubahan taktik pemerintahan Kamboja menunjukkan kesadaran jika hanya bersandar pada "pendekatan halus" tidak bekerja, papar Bunna Vann.

Posisi Phnom Penh yang berubah akan memastikan blok dapat bergerak dengan "persatuan dan kekuatan" menuju "tekanan secara politik dan diplomatis menekan rezim militer untuk berjalan menuju pembicaraan konsensus yang sudah disetujui," papar analis tersebut.

Analis di Kamboja adalah di antara yang mengatakan junta tidak mungkin menerima undangan yang dikirim ke perwakilan non-politik ke pertemuan mendatang.

Hunter Marston, rekan peneliti WSD-Handa dengan lembaga penelitian Pacific Forum, mengatakan ASEAN kemungkinan ditempatkan di posisi berseberangan junta karena melanggar prinsip 'tidak ikut campur' ASEAN.

Baca Juga: Indonesia Lagi yang Pusing Setelah ASEAN Dipegang Pemimpin Negara Sekutu Setia China Ini, Lihat Langkah Indonesia Cegah ASEAN Jadi Boneka Tiongkok Selamanya

Baca Juga: Inilah Negara yang Terletak Paling Utara di ASEAN, Sekaligus Satu-satunya Negara yang Memiliki Tiga Musim di Asia Tenggara

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait