Latar Belakang dan Dampak Tritura, Tuntutan yang Diserukan Para Mahasiswa Terhadap Pemerintahan Soekarno

Khaerunisa

Editor

Ilustrasi peristiwa Tritura. Soeharto (kiri) dan Soekarno (kanan).
Ilustrasi peristiwa Tritura. Soeharto (kiri) dan Soekarno (kanan).

Intisari-Online.com - Pada tahun 1966, para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), menyerukan agar dipenuhinya Tritura.

Tritura yaitu Tri Tuntutan Rakyat, atau tiga tuntutan rakyat.

Tuntutan tersebut dirumuskan dan disepakati para mahasiswa pada 9 Januari 1966.

Kemudian digelar demonstrasi besar-besaran pada keesokan harinya, di mana Tritura pertama kali dikumandangkan.

Selain di halaman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), aksi juga dilakukan di tempat-tempat strategis lainnya di Jakarta.

Kini, tanggal 10 Januari diperingati sebagai Hari Tritura.

Pada awal tahun 1966, demonstrasi terus terjadi karena Tritura tak kunjung dipenuhi.

Hingga puncak aksi terjadi pada 11 Maret 1966, di mana demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran kembali terjadi, bertempat di depan Istana Negara.

Baca Juga: Wajib di Era Soeharto, Pemutaran Tiap Tahun Film G30S/PKI Dihentikan Sejak Tahun 1998, Ini Tokoh di Balik Penghentiannya

Baca Juga: Fakta Pembuatan Film G30S/PKI: Ternyata Rano Karno pernah Ditolak Memerankannya, Sosok Inilah yang Akhirnya Jadi Pierre Tendean

Latar Belakang Lahirnya Tritura

Situasi politik dan ekonomi Indonesia di sekitar tahun 1960-an menjadi latar belakang lahirnya Tritura.

Dalam Buku Gerakan Mahasiswa 1966 dan 1998 (2011) yang diterbitkan Kemenparekraf tertulis bahwa kondisi politik di Indonesia dari tahun 1960 sampai dengan 1965 diwarnai oleh konstelasi tiga kekuatan politik.

Tiga kekuatan besar yang berkembang pada saat itu berpusat pada Soekarno, ABRI (Angkatan Darat) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ketidakstabilan politik kemudian menyebabkan menurunnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.

Belum lagi kebijakan Presiden Soekarno yang membuat Indonesia dijauhi negara barat karena sikap anti neokolonialisme dan neoimperialisme menyebabkan posisi Indonesia semakin sulit.

Sikap itu membuat Indonesia akhirnya kehilangan dukungan internasional baik di bidang politik maupun ekonomi.

Puncaknya adalah pada malam gerakan 30 September (G30S). Tentara menuding Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang di balik pembunuhan tujuh jenderal pada malam berdarah itu.

Baca Juga: Bikin Satu Indonesia Ketakutan, Hanya Dalam 1 Hari Kasus Covid-19Tembus 27.197, Peneliti ChinaBongkar Alasan Omicron Berkali-kali Lipat Lebih Menular, Ditularkan dari Hewan Ini

Baca Juga: Hal Unikdi Peta Dunia JamanRenaisans, Ada Putri Duyung danPegasus

Pada akhir Oktober 1965, para mahasiswa membentuk KAMI dengan dukungan dan perlindungan tentara.

Selain memprotes Soekarno yang tak bersikap apa-apa terhadap peristiwa G30S, rakyat juga memprotes buruknya perekonomian di bawah Sukarno.

Adapun isi Tritura adalah sebagai berikut:

  1. Bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI)
  2. Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur yang terlibat G30S
  3. Turunkan harga
Tiga tuntutan tersebut dirumuskan oleh tiga orang wakil KAMI Pusat yaitu, lsmid Hadad (Ikatan Pers Mahasiswa), Saverinus Suwardi (PMKRI) dan Nazaruddin Nasution (HMI).

Dampak Tritura

Tuntutan pembubaran PKI yang tidak segera dipenuhi, lama-kelamaan berubah menjadi desakan agar Bung Karno turun tahta.

Sementara Sidang Kabinet Dwikora pada 15 Januari 1966 di Istana Bogor yang mengundang para mahasiswa tidak memuaskan mereka.

Perombakan kabinet yang kemudian diumumkan pada 21 Februari 1966 justru semakin memanaskan suasana. Pasalnya masih ada beberapa tokoh berhaluan kiri di dalam kabinet baru itu.

Pada 24 Februari 1966, terjadi bentrokan antara demonstran melawan Resimen Cakrabirawa di depan Istana Negara yang memakan korban jiwa.

Dalam bentrokan itu, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran UI, Arif Rahman Hakim tewas karena tertembak.

KAMI disalahkan atas insiden itu, sehingga sehari selanjutnya KAMI dibubarkan. Meski begitu, unjuk rasa anti-PKI terus berlangsung.

Soekarno semakin terjepit dengan demonstrasi yang terus terjadi.

Akhirnya, ia mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar, yang berisi perintah kepada Soeharto selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengendalikan keamanan dan ketertiban negara.

Kelak, Supersemar menjadi pembuka jalan naiknya Soeharto menjadi presiden selama 32 tahun.

Baca Juga: Simak Kalender Februari 2022, Besok Hari Kanker Sedunia, Cek Juga Hari Peringatan Nasional dan Internasional Lainnya

Baca Juga: Nanti Malam Sebelum Tidur, Coba Minum Teh Serai, Perasaan Cemas hingga Kembung pun Bisa Hilang dari Tubuh

(*)

Artikel Terkait