Intisari - Online.com -Rusia dan Barat telah secara aktif berdiskusi mengenai krisis Ukraina selama lebih dari sebulan, tapi sejauh ini tidak ada perjanjian yang telah diraih.
Walaupun Kremlin telah memperingatkan terhadap "diskusi tanpa henti", pejabat-pejabat Rusia terus berpatisipasi dalam berbagai pertemuan dengan kolega-kolega Barat mereka.
Perwakilan dari Rusia, Ukraina, Jerman dan Perancis bertemu di Paris pada 26 Januari untuk pembicaraan yang dikenal sebagai Normandy Format yang dibentuk tahun 2014 dalam sebuah upaya menyelesaikan perang di wilayah Donbass, Ukraina Timur.
Pertemuan itu berlangsung selama delapan jam.
Melansir Asia Times, tahun 2015 lalu disepakatilah Minsk Agreement atau Kesepakatan Minsk di ibukota Belarusia antara otoritas Ukraina, perwakilan Donbass dan Rusia serta mediator Eropa.
Namun mengingat jika selama tujuh tahun terakhir tidak ada satu pun poin dari Kesepakatan Minsk yang telah terwujud, maka tidak heran jika perbincangan Paris juga tidak mendapatkan kemajuan yang signifikan.
Menurut laporan-laporan yang ada, Ukraina, Rusia dan penengah Eropa telah sepakat membuka ronde baru pembicaraan Normandy di Berlin dalam dua pekan ini.
Isu utama tetap mengenai interpretasi berbeda dari Kesepakatan Minsk.
Walaupun semua pihak telah mengafirmasi ulang komitmen mereka melaksanakan gencatan senjata, kenyataannya, perdamaian di darat tidak pernah terwujud.
Maka dari itu sangat kecil kemungkinan jika ketegangan dan tembakan bersenjata di Donbass akan berakhir dalam waktu dekat.
Sejak Kremlin mengisukan "ultimatum" ke Amerika Serikat atas Ukraina Desember lalu, pejabat-pejabat Rusia dan AS telah bertemu beberapa kali dengan efek kecil mengurangi ketegangan.
Bahkan tanpa perang, ekonomi Ukraina dan Rusia sudah menghadapi konsekuensi negatif.
Pasar saham Rusia telah jatuh ke titik terendah, turun sampai 27% sejak akhir Oktober, sementara mata uang Ukraina hryvnia baru-baru ini mencapai titik terendah dalam empat tahun terakhir.
Jika perang benar-benar terjadi, Barat diperkirakan akan menerapkan sanksi yang kejam kepada Rusia yang memiliki dampak melumpuhkan kepada sektor perbankan negara itu, terutama jika bank Rusia dilarang dari sistem transfer uang SWIFT.
Sadar secara akut jika sanksi-sanksi dapat memberikan kerusakan serius terhadap ekonomi Rusia, Kremlin tampaknya telah sepakat untuk bermain sesuai aturan AS.
Walaupun Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov mengatakan jika Moskow telah "kehabisan kesabaran", Kremlin telah menunggu lebih dari sebulan bagi AS merespon permintaan mereka mengenai jaminan keamanan.
Kini dengan AS akhirnya telah memberikan respon tertulisnya kepada Moskow, bolanya justru ada di pengadilan Kremlin.
Jika Rusia tidak mengambil aksi serius sekarang, tetapi memilih menulis respon mereka sendiri atas respon AS, akan jadi jelas jika manuver militer di dekat perbatasan Ukraina ini hanyalah gertakan Rusia lainnya.
Signifikan jika AS telah meminta Rusia tidak mempublikasi isi dari respon tertulisnya atas permintaan Moskow.
Jika Kremlin setuju menjaga dokumen itu menjadi rahasia, artinya adalah Washington masih memiliki kendali atas Moskow dan Rusia dipaksa membuat kelonggaran kepada AS.
Alasan pendekatan defensif terbaru Rusia merespon AS tidak hanya ketakutan sanksi yang dirasakan Kremlin, tetapi juga fakta bahwa pemimpin-pemimpin Rusia punya lebih banyak hal yang ditakutkan akan hilang jika terjadi konfrontasi lebih lanjut dengan Barat.
Sudah rahasia umum jika anak-anak dari beberapa pejabat Rusia tinggal, belajar dan bekerja di negara-negara Barat.
Contohnya adalah Elizaveta Peskova, anak dari juru bicara Kremlin Dmitry Peskov, tinggal di Perancis dan bekerja di sana.
Sementara itu Viktor Zolotov, direktur Garda Nasional Rusia dan anggota Dewan Keamanan Rusia, memiliki cucu yang belajar di Inggris.
Di sisi lain, anak dan cucu dari pejabat-pejabat Barat tidak tinggal di Rusia, dan tidak ada pemimpin oligarki Barat yang memiliki aset yang disimpan di bank-bank Rusia.
Hal itu memberikan AS dan sekutu-sekutunya posisi lebih kuat dibandingkan Rusia.
Walaupun AS, Inggris Raya dan negara-negara NATO secara terbuka mengirimkan senjata ke Ukraina, Kremlin tidak punya mekanisme mencegah perkembangan itu di darat.
Moskow tidak bisa memaksa Kiev menerapkan Kesepakatan Minsk, dan panggilan terus-terusan untuk Lavrov di AS, Perancis, Jerman dan negara-negara Barat untuk membuat Kiev ikut dalam perjanjian ditandatangani 2015 dengan jelas menunjukkan impotensi politik Rusia atas Ukraina yang didukung Barat.
Militer Rusia tidak diragukan lagi superior dibandingkan Pasukan Bersenjata Ukraina.
Namun kekurangan keinginan politik di Kremlin menempatkan Moskow di posisi sulit.
Rusia masih menolak mengenai Republik Rakyat Donetsk yang memerdekakan diri dan Republik Rakyat Lugansk, dan menilai dari pernyataan terbaru Lavrov, Moskow mustahil membuat gerakan ke arah itu dalam waktu dekat.
Di sisi lain, Duma Rusia diperkirakan mendiskusikan masalah ini Februari besok, tapi keputusan akhir tetap berada di tangan Presiden Vladimir Putin, bukan di tangan pembuat hukum.
Putin, untuk bagiannya, tidak diharapkan mendorong pengakuan resmi untuk republik Donbass kecuali Ukraina berupaya mengembalikan kedaulatan mereka atas wilayah itu dengan kekuatan militer.
Fakta jika Andrei Turchak, sekretaris dewan umum partai United Russia, mengatakan jika Moskow seharusnya mengikuti langkah NATO dan mulai mempersenjatai pemisahan entitas-entitas ini menunjukkan jika setidaknya beberapa di dalam Kremlin tidak berniat meninggalkan proksi Rusia di Donbass.
Masalahnya bagi Rusia adalah mereka tidak bisa lagi menggunakan pasukan militan "little green men" dan operasi hibrida lainnya melawan Kiev.
Bertahun-tahun lamanya, tentara Ukraina telah mendapatkan pengalaman perang dan belajar bagaimana berperang.
Dalam kasus serangan Ukraina yang masif, militan warga dari republik Donbass yang memerdekakan diri akan menghadapi waktu yang sulit menahan garis depan selama lebih dari 48 tahun.
Dengan kata lain, tidak lama Pasukan Bersenjata Ukraina akan menguasai kota-kota Donbass yang penting seperti Gorlovka atau Donetsk.
Perkembangan ini akan menempatkan Rusia dalam posisi sulit antara secara terbuka ikut campur dan menghadapi sanksi yang parah dari AS, atau hanya secara kuat mengutuk aksi Ukraina dan meminta mitra Barat memaksa Kiev menarik pasukannya.
Namun skenario terakhir artinya menjadi kekalahan de faktor Rusia kepada Barat.
Serta, mengingat posisi pasif Moskow dengan AS, Inggris dan negara-negara berkuasa di Eropa, Rusia tidak akan melakukan langkah pertama juga.
Alih-alih, Kremlin hanya akan menunggu saja.
Berbagai negosiasi antara Rusia dan Barat akan diadakan setidaknya pada pertengahan Februari besok.
Sementara itu, Ukraina akan melanjutkan menerima gelonggongan senjata dari negara-negara NATO.
Jika Moskow akhirnya menyerang Kiev dengan operasi militer terbatas, pasukan bersenjatanya akan menderita kekalahan besar.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini