Intisari - Online.com -Beberapa tahun belakangan, Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) telah tumbuh menonjol sebagai tokoh kunci dalam mengamankan kepentingan maritim Indonesia di Laut Natuna.
Namun, pengenalan kontroversial Bakamla sebagai "badan koordinator" maritim (dalam pandangan lembaga keamanan maritim lain) serta aset operasional terbatasnya telah membuat "coastguard" Indonesia berada di posisi yang tidak dapat dipertahankan.
Tanpa keinginan politik jelas dari pemerintah pusat untuk menguatkan kemampuan operasional Bakamla dan posisi institusionalnya, Bakamla akan kesulitan menjadi unit penjaga garis perbatasan yang kuat.
Bakamla juga akan kesulitan secara signifikan membangun strategi mempertahankan Laut Natuna, seperti dikutip dari The Diplomat.
Laksamana Madya Aan Kurnia, kepala Bakamla, menyatakan akhir Desember lalu jika program prioritas Bakamla tahun 2022 akan melindungi wilayah Laut Natuna Utara.
Lebih penting lagi, institusinya juga merencanakan membuat pertemuan dengan pejabat maritim dari lima negara Asia Tenggara: Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Singapura dan Vietnam di Pulau Batam.
Pertemuan di pulau Batam, benteng pertahanan Indonesia selain di Natuna dan Bintan, adalah untuk menangani konflik yang berlangsung di Laut China Selatan.
Tujuan pertemuan itu adalah untuk meningkatkan persahabatan antara coastguard masing-masing negara dan memberikan tempat berdiskusi untuk program-program kolaboratif yang lebih nyata.
Contohnya adalah pertukaran informasi dan data, untuk menghadapi tantangan operasional di Laut China Selatan.
Urutan kejadian yang diusulkan ini menyiratkan jika Bakamla memposisikan dirinya sebagai lembaga utama untuk strategi Laut Natuna Indonesia.
Menjaga permainan
Sejak meraih legitimasi hukum kuat di bawah Undang-undang No 31/2014 untuk Urusan Kelautan, Bakamla telah lambat laut berubah menjadi badan coastguard Indonesia dengan cakupan peran dan kemampuan operasional yang luas.
Menurut hukum, tujuan asli Bakamla adalah untuk bertindak sebagai badan penegakan hukum di laut, dengan kemampuan mencakup perairan teritorial sampai laut internasional.
Namun hal itu juga menetapkan peran institusi tersebut sebagai badan koordinator ketika berurusan dengan lembaga keamanan maritim yang sudah ada lainnya.
Awalnya bergantung pada kapal patroli berukuran kecil yang dipinjami oleh Angkatan Laut Indonesia dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bakamla sukses dalam misi patrolinya dan menangkap kapal penangkap ikan milik negara asing di yurisdiksi maritim Indonesia.
Sejak 2017, peran Bakamla telah meluas dengan akuisis kapal-kapal patroli lepas pantai lebih besar dengan kemampuan mencapai laut lebih jauh, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan perairan internasional.
Kemampuan patroli di laut lepas telah memberikan Bakamla kepercayaan diri untuk lebih aktif dalam menangkap kapal penangkap ikan dari China dan Vietnam.
Bakamla mulai menghadapi tantangan-tantangan serius dari akhir 2020, ketika kapal coastguard China memasuki ZEE Indonesia tanpa keterlibatan kapal penangkap ikan asing.
Desember 2020, Bakamla menghadapi kapal 5402 dari China Coast Guard (CCG), pertama kalinya sebuah kapal CCG memasuki ZEE Indonesia tanpa kehadiran kapal penangkap ikan.
Ini artinya jika pertemuan ini secara kualitatif berbeda dari ketegangan sebelumnya.
Antara Agustus dan Oktober 2021, Bakamla juga menghadapi tekanan, dengan kapal survei dan CCG China berupaya mengganggu dengan aktivitas pengeboran di dekat Blok Tuna di Laut China Selatan.
Berbagai aktivitas patroli ini menunjukkan jika Bakamla telah berevolusi menjadi sebuah elemen penting untuk strategi keamanan maritim Indonesia di sekitar kepulauan Natuna.
Aset operasional terbatas
Bakamla tetap menghadapi masalah yang muncul dari aset operasional mereka.
Untuk diingat, pasukan itu baru mulai mendapatkan 10 kapal coastguard, enam unit berukuran 48 meter, tiga unit berukuran 80 meter dan satu unit 110 meter, serta sejumlah kapal berkecepatan tinggi.
Dalam dokumenter Channel News Asia terbaru, kepala Bakamla membeberkan jika institusi itu bertujuan mendapatkan setidaknya 80 kapal berukuran besar untuk patroli, ketahanan lebih lama di laut lepas, serta kemampuan bertahan lebih baik.
Keseluruhan jumlah kapal-kapal yang dimiliki oleh Bakamla masih sedikit, walaupun Bakamla melakukan program akuisisi cepat antara 2017 dan 2019 dengan bergantung pada kemampuan industri pembangunan kapal di Batam, Kepulauan Riau.
Selain masalah kemampuan patroli yang terbatas, pengiriman senjata di atas kapal terbilang minimal, terbatas pada AK-47 yang dibawa oleh personil Bakamla dan senapan 5.56 milimeter.
Ada upaya untuk memodernisasi sistem persenjataan di atas kapal melalui pembelian sistem senjata dikendalikan jarak jauh Aselsan 30 milimeter dengan izin Kementerian Pertahanan.
Namun, sistem persenjataan itu hanya bernilai empat unit saja yang kemungkinan akan dipasang dalam kapal-kapal berukuran 110 meter dan 80 meter.
Pembatasan kemampuan memiliki dampak untuk Bakamla di tingkat operasional, di mana mereka masih tergantung pada TNI Angkatan Laut untuk dukungan.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini