Intisari-Online.com - Terdakwa pemerkosa 13 santriwati di Bandung,Herry Wirawan, dituntut hukuman mati danhukuman kebiri kimia.
Selain itu, jaksa penuntut umum (JPU) juga menuntut supaya identitas guru pesantren itu disebarluaskan.
Hal ini untuk memberikan efek jera bagi terdakwa dan pelaku kejahatan serupa lainnya.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat Asep N Mulyana usai sidang tuntutan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Selasa (11/1/2022) mengatakan, "Kami juga menjatuhkan atau meminta kepada hakim untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa pengumuman identitas agar disebarkan, dan hukuman tambahan berupa tindakan kebiri kimia."
Oleh jaksa, tuntutan hukuman itu dinilai telah sesuai dengan Pasal 81 Ayat (1), Ayat (3) dan Ayat (5) jo Pasal 76D Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Berbicara mengenai hukuman kebiri kimia, ketentuan tentang hukumantersebut dimuat dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 khususnya Pasal 81 Ayat (7).
Kemudian, hukuman kebiri kimia diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. PP itu diteken Presiden Joko Widodo pada 7 Desember 2020.
Pasal 1 angka 2 PP tersebut menjelaskan bahwa tindakan kebiri kimia merupakan pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain yang dilakukan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
"Sehingga menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi," lanjutan pasal tersebut.
Selain itu, dalam PP juga dikatakan bahwa tindakan kebiri kimia dikenakan terhadap pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Putusan pengadilan itu dilaksanakan atas perintah jaksa setelah berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Sosial.
Pelaksanaan kebiri kimia dilakukan oleh petugas yang memiliki kompetensi di bidangnya atas perintah jaksa.
Lebih lanjut, PP Nomor 70 Tahun 2020 menjelaskan bahwa tindakan kebiri kimia dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun.
Sebelum dilakukan tindakan kebiri kimia, terpidana harus mengikuti penilaian klinis yang meliputi wawancara klinis dan psikiatri, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.
Setelah dilakukan penilaian klinis, ditarik kesimpulan untuk memastikan terpidana layak atau tidak dijatuhi tindakan kebiri kimia.
Jikakesimpulan menyatakan tidak layak, maka pelaksanaan tindakan kebiri kimia ditunda paling lama 6 bulan.
Selama masa penundaan, dilakukan penilaian klinis dan kesimpulan ulang untuk memastikan layak atau tidaknya terpidana dikenakan tindakan kebiri kimia.
Jika penilaian klinis dan kesimpulan ulang masih tetap menyatakan terpidana tidak layak maka Jaksa memberitahukan secara tertulis kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dengan melampirkan hasil penilaian klinis dan kesimpulan ulang.
Kebiri kimia dilakukan dengan memberikan zat atau obat, biasanya dalam bentuk suntik, untuk mengurangi hasrat dan fungsi seksual para pelaku pelecehan seksual anak.
Kebiri kimia juga dapat memberikan dampak lain, seperti: ketidaksuburan; sensasi rasa panas, berkeringat, dan jantung berdebar (hot flashes); anemia; serta depresi.
Selain itu, kebiri kimia juga dapat meningkatkan risiko pembesaran payudara pada pria yang disebut dengan ginekomastia.
Semakin lama kebiri kimia dilakukan, risiko munculnya efek samping juga akan meningkat.