Intisari-Online.com-Terbongkarnya kasus pencabulan 13 santriwati oleh guru pesantren di Bandung bernama Herry Wirawan turut menjadi sorotan media asing.
Termasuk media Vietnam Eva.vn yang ditayangkan pada Jumat, 17 Desember 2021.
Eva.vn melansir South China Morning Post pada 17 Desember melaporkan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, kasus pemerkosaan mendominasi media Indonesia.
Termasuk kasus seorang wanita yang bunuh diri setelah pacarnya memperkosanya dan memaksanya untuk melakukan aborsi.
Dalam kasus lain, Herry yang memperkosa 13 santriwati di beberapa tempat, yakni di Yayasan pesantren, hotel, hingga apartemen.
Peristiwa itu berlangsung selama lima tahun, sejak tahun 2016 sampai 2021.
Para korban diketahui ada yang telah melahirkan dan ada yang tengah mengandung.
Tersangka terancam hukuman penjara maksimal 15 tahun, yang ditingkatkan menjadi 20 tahun karena tersangka berprofesi sebagai guru.
Kejaksaan Agung Jawa Barat juga sedang mempertimbangkan hukuman kebiri kimia terhadap tersangka atas permintaan keluarga korban.
Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut, Jawa Barat, Diah Kurniasari Gunawan mengatakan, tersangka Heery mengklaim anak-anak itu yatim piatu dan menggunakannya untuk meminta sumbangan.
Di Kabupaten Garut sendiri, setidaknya ada 10 siswa yang menjadi korban Herry.
Menurut Diah, ada total 21 korban diperkosa, namun hanya 12 yang terdaftar dalam persidangan.
Para korban juga dipaksa melakukan pekerjaan bangunan untuk sekolah asrama Herry.
Pesantren Madani memiliki setidaknya 30 siswa sampai ditutup oleh polisi pada bulan Juni.
Herry juga menjadi guru di dua pesantren lain di Jawa Barat.
Ketiga sekolah tersebut menawarkan pendidikan dan asrama gratis bagi siswa.
Persidangan mengungkapkan bahwa Herry dituduh melecehkan korban di sekolah, di gedung apartemen di kamar hotel.
Dia juga dituduh menyalahgunakan uang untuk korban dan sekolahnya yang diterima dari pemerintah.
Mariana Amiruddin, wakil ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, mengatakan insiden itu hanya 'puncak gunung es' karena banyak insiden kekerasan seksual di sekolah yang tidak dilaporkan.
"Pada prinsipnya satu dari tiga perempuan di Indonesia menjadi korban kekerasan seksual dan perempuan rentan sebagian besar adalah usia kerja. Jadi mereka berisiko mengalai kekerasan seksual di sekolah, termasuk pesantren, di mana keluarga menitipkan hak asuh anak kepada sekolah," ujar Mariana.
Bahkan dengan upaya memerangi pelecehan seksual di sekolah, tidak banyak korban yang berani maju dan mengadukan pelakunya.
Banyak pelajar yang tidak mau mengadukan dirinya sebagai korban kekerasan seksual karena pelakunya adalah orang yang berstatus tinggi.