Intisari - Online.com -Saat didirikan pada 8 Agustus 1967 lalu, organisasi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN didirikan atas politik yang tidak berpihak dan tidak mementingkan kepentingan suatu negara tertentu.
Seiring berjalannya waktu, dasar ini semakin sulit untuk dipenuhi.
Nyatanya, ASEAN menjadi panggung selanjutnya kontes politik antara dua kekuatan geopolitik dunia: Amerika Serikat dan China.
Hanya sedikit negara-negara di ASEAN yang bisa tetap menjaga agar tidak berpihak.
Padahal kepemimpinan ASEAN dilaksanakan oleh semua negara anggota secara bergantian.
Artinya akan ada kondisi di mana negara yang sudah menjadi sekutu AS ataupun China memimpin ASEAN.
Seperti yang terjadi di tahun 2022 ini.
Kamboja mulai mengambil alih rotasi kepemimpinan ASEAN, yang disebut pakar justru negara-negara kunci regional mulai menghadapi tantangan-tantangan geopolitik sensitif.
Melansir Asia Times, terakhir kali pemimpin Kamboja, Hun Sen, menjadi pemimpin ASEAN, lembaga itu gagal pertama kalinya dalam sejarahnya untuk menjalin komunikasi bersama di tengah ketidaksepakatan mengenai sengketa Laut China Selatan yang mengadu negara-negara ASEAN dengan China.
Sebagai sekutu kuat Beijing, pemimpin Kamboja itu bahkan secara terbuka memblokir diskusi mengenai sengketa maritim, yang membuat dua negara pendiri ASEAN, Vietnam dan Filipina, sangat kecewa.
Merespon hal itu, Indonesia memulai diplomasi antar-jemput berisiko tinggi guna mencegah kerusakan lebih lanjut di dalam ASEAN.
Hun Sen juga membuat banyak pihak khawatir dengan memulai apa yang disebut negara-negara ASEAN lain sebagai "diplomasi koboi" terhadap junta militer Myanmar yang brutal.
Perlu diingat, junta militer merebut kepemimpinan dari pemerintah terpilih Myanmar pada Februari 2021.
Untuk menghindari pengulangan bencana diplomasi pada 2012 lalu, ketika ASEAN sebagai kekuatan stabilitas regional dipertanyakan, Indonesia dan Filipina telah mendorong pada persatuan regional lebih besar untuk masalah keamanan maritim dan Myanmar.
Pada prinsipnya, ASEAN beroperasi pada konsensus berdasarkan proses pembuatan keputusan.
Namun ketua ASEAN yang dipilih dengan dasar rotasi di antara 10 anggota, dianggap berpengaruh besar dalam mempengaruhi arah ASEAN nantinya.
Contohnya, ketua ASEAN, yang sudah lama dianggap dipegang oleh kepala negara yang menjadi tuan rumah, memiliki kekuatan memilih masalah yang harus diprioritaskan oleh ASEAN, membuat mereka bebas membuang masalah yang tidak memenuhi kepentingan mereka sendiri.
Ketua juga memiliki kekuatan untuk mempermasalahkan pernyataan gabungan ketika 10 anggota gagal mencapai konsensus atas masalah yang sensitif dan memecah belah kekompakan ASEAN.
Tahun 2012 lalu, Hun Sen, pemimpin Kamboja, memanfaatkan prerogatifnya sebagai ketua ASEAN dengan secara sepihak menghapus masalah Laut China Selatan dari diskusi regional di tengah ketegangan angkatan laut berbulan-bulan lamanya antara Filipina dan China terkait Scarborough Shoal.
Pemimpin Kamboja sudah berulang kali memblokir ketegangan maritim dari diskusi regional.
Tidak heran, Kamboja, terkhususnya Hun Sen, sangat bergantung pada sumbangan China dan perlindungan strategis China.
Bahkan bertahun-tahun setelah tidak menduduki posisi sebagai ketua ASEAN, Hun Sen masih menentang diskusi ASEAN mengenai kemenangan arbitrasi Filipina atas China dalam sengketa laut mereka di Den Haag.
Hun Sen secara terbuka mengeluh: "Sangat tidak adil bagi Kamboja, menggunakan Kamboja untuk menghadapi China. Mereka menggunakan kami dan mengutuk kami… ini bukan tentang hukum, ini benar-benar tentang politik."
Kini, dengan Kamboja menjadi negara pertama di ASEAN yang menerima pembangunan pangkalan militer China di negaranya, kemungkinan besar Hun Sen sekali lagi akan mengecilkan persatuan ASEAN dalam masalah Laut China Selatan.
Menurut Kimkong Heng, peneliti senior yang berkunjung ke Cambodia Development Center, "Kamboja kemungkinan akan melanjutkan sikap jika negara yang bermasalah dengan China harus menyelesaikan masalah ini secara bilateral dan ASEAN menjauh terlibat dalam masalah panas ini."
Sementara itu, Hun Sen juga mendorong keterlibatan langsung dengan junta militer Myanmar, mengikuti pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri yang ditunjuk militer Myanmar, Wunna Maung Lwin di Phnom Penh bulan lalu.
Pemimpin Kamboja juga diperkirakan menjadi pemimpin regional pertama yang mengunjungi Myanmar setelah kudeta militer tahun lalu di negara itu yang menggulingkan Aung San Suu Kyi.
Hal ini akan melawan langkah yang sudah dibangun ASEAN yang tidak mengundang pemimpin junta dari pertemuan tahun lalu di tengah kekhawatiran atas kurangnya kemajuan penerapan "Konsensus Lima Poin" yang bertujuan mengembalikan demokrasi dan mengakhiri kekerasan di Myanmar.
Langkah Indonesia
Mengantisipasi kemunduran di bawah kepemimpinan Hun Sen, Indonesia dan Filipina mulai mengurusi masalah ini bersama dan menyeru kerjasama regional yang lebih besar.
Kepala Bakamla, Laksamana Madya TNI Aan Kurnia, baru-baru ini mengundang rekan-rekan dari Brunei, Malaysia, Filipina, Singapura dan Vietnam dalam pertemuan Februari mendatang.
Tujuan pertemuan ini adalah untuk "berbagi pengalaman dan mendorong persaudaraan."
Baca Juga: 30 Jenazah Ditemukan Hangus Terbakar di Myanmar, AS Akan Lakukan Hal Ini ke Junta Militer Myanmar
Aan Kurnia menekankan kepentingan menghadirkan "pendekatan terkoordinasi" untuk masalah keamanan regional, terutama di Laut China Selatan, dan "bagaimana merespon di lapang ketika kami menghadapi masalah yang sama" tanpa secara langsung menyebut China.
Walaupun Indonesia bukanlah negara penuntut langsung, Indonesia sudah menerima penghinaan "zona abu-abu" China di Laut Natuna Utara, yang tumpang tindih dengan ujung klaim sembilan garis putus-putus China, klaim yang menyebut China menguasai seluruh Laut China Selatan.
Antara Desember 2019 sampai Januari 2020, sebanyak 60 kapal China masuk ke dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) membuat Jakarta menyerukan banyak protes diplomasi dan mengirimkan jet tempur dan kapal perang ke wilayah itu.
Baru-baru ini juga Indonesia mendapat penghinaan oleh China atas aktivitas eksplorasi energi di ZEE Indonesia dengan mitra asing, termasuk Harbour Energy dari Inggris dan Zarubezhneft dari Rusia.
Bakamla menyelesaikan proyek latihan enam bulan di landas kontinen Indonesia di Laut Natuna Utara sebagai "kemenangan" atas perlawanan China.
Aan Kurnia mengklaim Indonesia telah "mencetak poin" melawan China walaupun latihan terus-terusan dibayangi oleh kapal-kapal coast guard China.
"Poinnya adalah kapal-kapal China itu tidak mengganggu kami secara fisik dan latihan selesai," ujar Aan dengan bangga di depan para reporter dalam review akhir tahun bulan lalu.
Kini, Indonesia menyeru kerjasama lebih besar di antara negara-negara yang terdampak, yang juga telah menerima sikap asertif China beberapa tahun belakangan.
Satya Partama, pejabat pemerintah Indonesia, mengatakan pertemuan yang diadakan Bakamla akan melengkapi forum Coast Guard ASEAN dan menjadi "kesempatan bagus untuk coast guard ASEAN dan badan penerapan hukum maritim untuk berbicara dan bekerjasama dengan satu sama lain."
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini