Penulis
Intisari - Online.com -Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) mengatakan kepala keamanan maritim dari 5 negara Asia Tenggara lainnya telah diundang dalam sebuah pertemuan mengenai ketegangan di Laut China Selatan Februari besok.
Indonesia telah mengundang pejabat-pejabat dari lima negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk bertemu Februari besok.
Pertemuan ini dilakukan untuk mendiskusikan respon gabungan yang mungkin dilakukan atas aksi asertif China yang terus dilakukan di Laut China Selatan.
Melansir The Diplomat, Wakil Laksamana Aan Kurnia, kepala Bakamla, mengatakan kepada wartawan bahwa dia telah mengundang rekan-rekan dari Brunei, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam untuk pertemuan pada Februari 2022 untuk “berbagi pengalaman dan membina persaudaraan.”
Empat dari lima negara memiliki ketegangan yang tidak selesai dan sengketa teritorial dengan China.
Mereka juga telah mengalami kesulitan dari pertumbuhan kekuatan angkatan laut dan maritimnya di Laut China Selatan.
Negara kelima, Singapura, meskipun tidak memiliki kepentingan teritorial langsung di Laut Cina Selatan, memiliki kepentingan yang sama kuatnya dalam pelestarian jalur laut internasional yang bebas dan terbuka.
Sementara Aan tidak menyebut China dengan nama – sebuah kebiasaan baik yang diamati oleh sebagian besar pemerintah Asia Tenggara, yang takut mengganggu hubungan ekonomi yang bermanfaat dengan Beijing – dia mengatakan bahwa penting bagi penuntut Asia Tenggara “untuk menghadirkan pendekatan terkoordinasi” dalam berbagai hal terkait dengan Laut Cina Selatan, dan “bagaimana merespon di lapangan ketika kita menghadapi 'gangguan' yang sama,” lapor Bakamla.
Selama dekade terakhir, pengklaim Asia Tenggara, Filipina dan Vietnam khususnya, telah mengalami peningkatan gesekan dengan China, karena Beijing telah menegaskan kedaulatannya atas wilayah yang disengketakan di Laut China Selatan dan membangun pulau-pulau buatan di fitur-fitur di Kepulauan Spratly.
Tindakan tegas ini juga semakin menyasar Indonesia, yang sejak lama menyatakan bukan merupakan penuntut hukum di Laut Cina Selatan.
Selama lima tahun terakhir, China telah mengirim kapal penangkap ikan besar, sering disertai oleh penjaga pantai dan kapal milisi maritim, ke zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di dekat kepulauan Natuna, yang diklaim Beijing sebagai bagian dari klaim maritim "sembilan garis putus-putus".
Pada Desember 2019 dan Januari 2020, misalnya, hampir 60 kapal melintasi ZEE Indonesia.
Beberapa bulan terakhir tahun 2021, dua negara telah terlibat ketegangan tingkat rendah mengenai prospek rig minyak dekat kepulauan Natuna di dalam ZEE Indonesia.
Beijing secara resmi meminta Jakarta menghentikan pengeboran minyak dan gas di tempat tersebut, sebuah tuntutan yang tentu saja ditolak oleh pemerintah Indonesia di Jakarta.
Jakarta juga berhasil menyelesaikan pengeboran enam bulan itu pada minggu lalu.
Namun Indonesia disebut Evan Laksmana dari Lee Kuan Yew School of Public Policy dari National University of Singapore jika insiden itu walaupun melanggar garis merah Indonesia, menujukkan sampai mana pembuat kebijakan Indonesia "menyangkal aksi asertif Beijing yang meningkat" di perairan di sekitar Natuna.
“Meskipun Indonesia bukan negara penuntut dalam sengketa tersebut,” tulisnya, “China telah memperlakukan Jakarta seperti tetangganya dengan klaim di wilayah tersebut.
"Beijing telah menerapkan taktik zona abu-abu untuk secara bertahap mengubah persamaan strategis di laut dan di luar tanpa memprovokasi perang kekerasan langsung.”
Meskipun sulit untuk mengetahui secara pasti hasil konkrit apa yang akan dibawa oleh pertemuan Februari, ini merupakan langkah yang disambut baik menuju koordinasi di antara negara-negara Asia Tenggara yang menghadapi tantangan China di Laut China Selatan.
Sementara berbagai negara yang memiliki kekuatan maritim di Asia Tenggara berbagi variasi pada tantangan yang sama, kerja sama mereka telah dirusak oleh kurangnya koordinasi dan persatuan, akibat dari proses pembuatan kebijakan yang terhenti dan sengketa maritim dan teritorial yang belum terselesaikan yang masih ada di antara negara-negara penuntut Asia Tenggara ini.
Seruan Indonesia untuk persatuan juga dapat menandakan pengakuan awal akan keseriusan tantangan yang ditimbulkan oleh China dalam ZEE negara itu, dan ketidakmampuan negara untuk mengelolanya sendiri.
Oleh karena itu, ini bisa menjadi tanda pertama bahwa para pembuat kebijakan Indonesia – atau setidaknya mereka yang paling dekat dengan situasi di lapangan di kawasan Natuna – terbangun dari penyangkalan selama satu dekade terakhir.
Oleh karena itu, upaya-upaya ini perlu mendapat perhatian di bulan-bulan dan tahun-tahun mendatang.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini