Penulis
Intisari-Online.com - Saat ini, Filipina dan China tampaknya tenang-tenang saja, namun ternyata kedua negara masih terlibat dalam perselisihan teritorial yang masih berlangsung.
Filipina akan mengadakan pemilihan umum untuk memilih presiden baru pada Mei mendatang saat masa jabatan enam tahun Presiden Filipina Rodrigo Duterte akan berakhir.
Awal menjabat sebagai presiden, Duterte telah mencari hubungan yang lebih dekat dengan Beijing.
Duterte juga menyatakan bahwa dia bersedia mengesampingkan perselisihan teritorial negaranya dengan China di Laut China Selatan.
Seperti diketahui, China dan negara tetangganya di Asia Tenggara termasuk Filipina telah terlibat dalam sengketa wilayah di Laut China Selatan selama beberapa dekade.
China mengklaim hampir seluruh jalur air dan bahkan dalam beberapa tahun terakhir, China membangun pulau buatan di laut, sementara armada penangkap ikan China dan kapal milisi maritim menyerbu wilayah yang diakui secara internasional sebagai milik negara lain.
"Skenario yang paling menguntungkan bagi Filipina adalah perubahan pola pikir pemimpin terpilih pada Mei 2022," kata Peaches Lauren Vergara, kepala praktik intelijen strategis di Amador Research Services, sebuah perusahaan penelitian dan penasihat, melansir CNBC, Senin (27/12/2021).
Presiden Filipina berikutnya harus menjauhi "sikap kalah yang ditunjukkan oleh kepemimpinan saat ini," dan lebih tegas menantang klaim China, tulis Vergara dalam laporan bulan Desember yang diterbitkan oleh Asia Society Policy Institute.
Ketegangan dengan China
Pada 2016, Filipina mendapat kemenangan ketika pengadilan internasional di Den Haag menolak klaim China di Laut China Selatan, yang memiliki jalur pelayaran tersibuk di dunia.
Hakim memutuskan bahwa bagian tertentu dari laut yang diklaim oleh kedua negara adalah milik Filipina saja.
China menolak keputusan itu. Duterte kemudian mengesampingkan keputusan pengadilan internasional tersebut dengan harapan mendapatkan konsesi ekonomi dari Beijing dan mengatakan Filipina bukan tandingan China dalam sebuah konfrontasi.
Dengan hanya beberapa bulan tersisa dalam masa jabatan presiden Duterte, investasi infrastruktur yang dijanjikan China ke Filipina telah gagal memenuhi harapan, sementara ketegangan antara Manila dan Beijing meningkat lagi di Laut China Selatan, menurut laporan bulan Desember oleh lembaga think tank International Crisis Group.
“Banyak orang di Filipina semakin skeptis terhadap pemulihan hubungan dengan China jika itu berarti menyerahkan klaim atas berbagai fitur maritim yang disengketakan,” baca laporan itu.
Laut Cina Selatan, jalur air yang kaya sumber daya, menyumbang sekitar 27% dari total produksi perikanan Filipina, kata Vergara dalam laporan Institut Kebijakan Masyarakat Asia.
Sekelompok ilmuwan dilaporkan telah memperingatkan bahwa aktivitas China di perairan yang disengketakan mengancam industri perikanan.
Sementara itu, ketegangan dengan China telah menghambat upaya eksplorasi minyak Filipina di laut.
"Ini memiliki dampak serius bagi kemampuan negara untuk mencapai ketahanan energi karena sumber utama gas alam untuk pasokan listrik - Malampaya - hampir habis," kata Vergara.
Beberapa di pemerintahan Duterte lebih vokal memprotes keberadaan kapal-kapal China di beberapa bagian Laut China Selatan yang diakui secara internasional sebagai milik Filipina.
Ketegasan China yang meningkat dan "ketundukan" Duterte kepada Beijing telah mendorong isu-isu seputar Laut China Selatan menjadi pusat perhatian publik di Filipina, kata Vergara.
Beberapa analis mengatakan calon presiden Filipina yang tampak pro-China bisa menghadapi tentangan dari publik.