Intisari-Online.com - Gajah Mada merupakan sosok terkenal dari kerajaan Majapahit, terutama di masa kejayaannya.
Seperti banyak diketahui, masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389 M), disebut-sebut sebagai era keemasan kerajaan ini.
Gajah Mada yang merupakan Mahapatih Majapahit menjadi orang kepercayaan Raja Hayam Wuruk.
Tetapi, sebuah peristiwa dalam sejarah Majapahit ini disebut-sebut membuat hubungan keduanya renggang.
Itu adalah terjadinya Perang Bubat, yaitu sebuah pertempuran antara keluarga Kerajaan Sunda dengan tentara Kerajaan Majapahit.
Akibat perang ini, Gajah Mada oleh para pejabat dan bangsawan Majapahit, dianggap lancang dan gegabah.
Perang Bubat pun menjadi tanda kemerosotan Gajah Mada.
Peristiwa Perang Bubat disebutkan dalam Cerita Parahyangan, Serat Pararaton, Kidung Sunda, dan Kidung Sundayana.
Peristiwa ini berawal dari rencana perkawinan politik antara Raja Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka Citraresmi, putri raja Sunda, Prabu Linggabuana.
Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Linggabuana untuk melamar putrinya dan menyatakan pernikahan akan dilangsungkan di Majapahit.
Meski Linggabuana sebenarnya keberatan dengan lokasi pernikahan itu, tetapi ia tetap berangkat bersama rombongan ke Majapahit.
Rombongan Linggabuana diterima dan ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
Baca Juga: Coba Gosokkan Mentimun pada Siku dan Lutut Selama 15 Menit, Hasilnya Akan Bikin Anda Terkejut
Bukan pernikahan yang terjadi, justru sebuah peperangan pecah dipicu oleh tindakan Gajah Mada.
Gajah Mada yang berambisi menguasai Kerajaan Pajajaran (Sunda) demi memenuhi Sumpah Palapa, menganggap kedatangan rombongan Sunda sebagai bentuk penyerahan diri.
Ia pun mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai upeti.
Hal itulah yang memicu perselisihan antara pihak Sunda dengan Gajah Mada.
Situasi semakin parah dengan Gajah Mada mengerahkan pasukannya ke Pesanggrahan Bubat dan memaksa Linggabuana mengakui superioritas Majapahit, sebelum Hayam Wuruk memberikan keputusannya.
Pihak Sunda pun tidak terima dan merasa dihina, kemudian memutuskan untuk melawan meski jumlah tentara yang dibawa hanya sedikit.
Pertempuran tidak seimbang antara tentara Kerajaan Sunda dengan Majapahit akhirnya memakan banyak korban.
Bahkan seluruh rombongan Linggabuana dikabarkan tewas, sementara Dyah Pitaloka kemudian memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan menancapkan tusuk konde ke jantungnya.
Hayam Wuruk meratapi kematian Dyah Pitaloka dan menyesalkan tindakan Gajah Mada.
Sementara itu, Gajah Mada diminta untuk mengakhiri kiprahnya sebagai Mahapatih, sebuah jabatan yang melekat pada sosoknya dalam Sejarah Majapahit.
Dengan jabatan tersebut, Gajah Mada telah menjadi orang paling berkuasa di kerajaan Majapahit hanya di bawah Maharaja.
Tetapi rupanya, bukan hanya itu saja jabatan yang membuat sosok Gajah Mada begitu berkuasa.
Krom dan Van Vollenhoven, seorang peneliti Belanda, menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang adhyaksa.
Melansir laman Kejaksaan Negeri Ngawi, pada masa Kerajaan Majapahit ada istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa yang mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan.
Istilah-istilah tersebut berasal dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.
Seorang peneliti Belanda WF Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M).
Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan.
Sementara itu, adhyaksa merupakan hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tersebut.
Kesimpulan tersebut didukung peneliti lainnya yakni HH Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter).
Itulah jabatan yang konon juga dimiliki oleh sosok Gajah Mada, menambah pengaruhnya dalam kerajaan Majapahit.
(*)