Berdasarkan pengamatan Wina, gaya berpakaian lain yang muncul ada pada penggunaan selendang yang berada di sebelah kiri, memakai surban, rambut yang terurai panjang, hiasan, atau lebih variasi dalam mengekspresikan dirinya.
Berbeda dengan di Jawa Tengah yang cenderung menampilkan perempuan secara seragam.
Wina menjelaskan, "Seperti tahun 90-an, orang menggunakan celana cutbray, itu kan sesuatu fashion yang berkembang. Mungkin ketika itu [di Majapahit] perempuan-perempuannya itu menggunakan selendang di sebelah kiri itu bisa jadi karena tren, tapi alasan detailnya kita belum tahu kenapa."
Hal lainnya yang menggambarkan sosok wanita adalah pada arca.
Namun, Wina menguraikan, arca bukanlah gambaran realitas atau cerita masyarakat masa itu, sebab pembuatnya harus mendalami agama dengan "pakem-pakem khusus" yang ada pada kitab seperti Silpasastra.
Maka, patung seperti perempuan yang ditampilkan dengan dada terbuka sebenarnya hanyalah orang-orang khusus, seperti dewa-dewi atau raja dan ratu.
Penggambaran dalam tokoh arca pun dibentuk lewat pemahaman lain dengan halo, riasan berlebih, termasuk busana perempuan yang dadanya terlihat.
Salah satu contohnya adalah ratu Majapahit Tribhuwana Wijayatunggadewi.
Perempuan pada masa Majapahit tidak hanya berperan di ranah domestik.
Mereka muncul di berbagai ranah sosial, menjadi ratu, dan menjadi sosok yang dihormati, tidak seperti pandangan konco wingking yang belakangan muncul di kebudayaan Jawa modern.
Hal itu dijabarkan oleh arkeolog Titi Surti Nastiti kepada National Geographic Indonesia tahun 2020.
Wina juga sepakat, bahkan berdasarkan catatan-catatan yang ditemuinya, perempuan Majapahit pun diketahui menjadi pendeta dan pedagang yang membuatnya berdaya.
Namun belum diketahui apakah pemahat arca dan relief dilakukan oleh perempuan karena buktinya masih minim.
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR