Intisari-Online.com -Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu-Budha diangga sebagai kerajaan terbesar di Nusantara.
Kerajaan Majapahit mengalami masa kejayaan ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk.
Masa kejayaan Kerajaan Majapahit disebut tak terlepas dari peran Gajah Mada.
Kerajaan Majapahit berhasil menguasai sebagian besar wilayah Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaya, dan wilayah-wilayah kepulauan di timur Jawa.
Bahkan, pengaruh kekuasaan dan kerjasama Majapahit meluas hingga ke luar Nusantara.
Majapahit melakukan kerjasama dengan kerajaan lain seperti Malaya, Siam, Ayuthia, Lagor, Siam, Singapura, Campa, Kambodia, Anam, India, dan China.
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, kehidupan masyarakat sudah sangat maju dan teratur.
Para pemeluk agama Buddha dan Hindu Saiwa hidup berdampingan secara damai, sebagaimana dijelaskan dalam Buletin Arkeologi DEWARNAMA edisi IV tahun 2007.
Bahkan, perempuan di masa Majapahit disebut lebih bebas berekspresi.
Peneliti periode Hindu-Buddha di Puslit ARKENAS Atina Winaya mencoba mencari tahu bentuk dan keterlibatan perempuan di masa Majapahit.
Lewat makalah yang dipublikasikan di SAAA Journal, Juni lalu, dia mencoba melihat dari berbagai peninggalan seperti arca, relief, dan figurin terakota (patung kecil yang terbuat dari tanah liat).
Kepada National Geographic Indonesia, Kamis (09/12/2021), Atina Winaya (Wina) mengatakan, "Jadi, menarik sekali karena kita bisa melihat tatanan rambutnya atau bagaimana cara dia berpakaian, itu bisa kita lihat dari figurin dan relief."
Menuru Wina, penggambaran terhadap perempuan pada pahatan di relief candi Majapahit berbeda dari masa kerajaan-kerajaan sebelumnya.
Majapahit dalam arkeologi Indonesia, berasal dari masa klasik muda, dimana kerajaan berkuasa berasal dari Jawa bagian timur.
Sementara masa klasik tua adalah masa kerajaan yang sebelumnya berjaya dan berkuasa di Jawa Tengah.
Peninggalan dalam relief seperti Candi Borobudur dan Prambanan menggambarkan kehidupan sosial masa itu.
Baca Juga: Pengertian dan Contoh Pelanggaran HAM, Ada Pelanggaran HAM Ringan dan Berat
"Nah yang menarik antara masa klasik tua—yang di Borobudur tadi yang di Jawa Tengah—dengan seni ada di Jawa Timur itu berbeda. Jadi kalau misalnya kalau di Jawa Tengah itu begitu natural seperti makhluk hidup sesungguhnya, tetapi kalau di Jawa Timur penggambaran manusianya itu lebih kaku, lebih menyerupai bentuk-bentuk wayang," lanjutnya.
"Tetapi secara karakternya sebenarnya lebih natural bagaimana dia menggambarkan busana, rambut, itu seperti sebenarnya. Nah yang menarik di sini kalau membandingkan di antara kedua periode tadi, berdasarkan yang kami kerjakan itu figur perempuan itu [pada peninggalan klasik muda] tampak lebih muncul."
Pada masa klasik tua, perempuan cenderung tidak begitu digambarkan, kecuali sebagai ratu, pengiring, atau rakyat biasa.
Sementara, pada masa klasik muda yang dapat kita temukan di relief Candi Panataran, perempuan menjadi pusat atau tokoh utama cerita, bahkan lebih bebas berekspresi dalam hal busana dan gaya rambut.
Secara pakaian, wanita pada masa klasik tua digambarkan menampilkan payudaranya.
Kemben atau kain yang menutup dada hingga kaki baru dikenakan pada masa Majapahit, walau tak sedikit juga sebenarnya sosok-sosok yang digambarkan masih menampilkan payudaranya.
Walau Islam muncul dengan ajaran menutup aurat seperti payudara, bukan berarti kemben ada karena dampak itu.
Kemben muncul sejak awal Majapahit. Kemben dinilai sebagai gaya berpakaian yang lebih varatif.
Baca Juga: Pengertian dan Contoh Pelanggaran HAM, Ada Pelanggaran HAM Ringan dan Berat
Berdasarkan pengamatan Wina, gaya berpakaian lain yang muncul ada pada penggunaan selendang yang berada di sebelah kiri, memakai surban, rambut yang terurai panjang, hiasan, atau lebih variasi dalam mengekspresikan dirinya.
Berbeda dengan di Jawa Tengah yang cenderung menampilkan perempuan secara seragam.
Wina menjelaskan, "Seperti tahun 90-an, orang menggunakan celana cutbray, itu kan sesuatu fashion yang berkembang. Mungkin ketika itu [di Majapahit] perempuan-perempuannya itu menggunakan selendang di sebelah kiri itu bisa jadi karena tren, tapi alasan detailnya kita belum tahu kenapa."
Hal lainnya yang menggambarkan sosok wanita adalah pada arca.
Namun, Wina menguraikan, arca bukanlah gambaran realitas atau cerita masyarakat masa itu, sebab pembuatnya harus mendalami agama dengan "pakem-pakem khusus" yang ada pada kitab seperti Silpasastra.
Maka, patung seperti perempuan yang ditampilkan dengan dada terbuka sebenarnya hanyalah orang-orang khusus, seperti dewa-dewi atau raja dan ratu.
Penggambaran dalam tokoh arca pun dibentuk lewat pemahaman lain dengan halo, riasan berlebih, termasuk busana perempuan yang dadanya terlihat.
Salah satu contohnya adalah ratu Majapahit Tribhuwana Wijayatunggadewi.
Perempuan pada masa Majapahit tidak hanya berperan di ranah domestik.
Mereka muncul di berbagai ranah sosial, menjadi ratu, dan menjadi sosok yang dihormati, tidak seperti pandangan konco wingking yang belakangan muncul di kebudayaan Jawa modern.
Hal itu dijabarkan oleh arkeolog Titi Surti Nastiti kepada National Geographic Indonesia tahun 2020.
Wina juga sepakat, bahkan berdasarkan catatan-catatan yang ditemuinya, perempuan Majapahit pun diketahui menjadi pendeta dan pedagang yang membuatnya berdaya.
Namun belum diketahui apakah pemahat arca dan relief dilakukan oleh perempuan karena buktinya masih minim.