Intisari-Online.com - Michael Clark Rockefeller merupakan anak salah satu konglomerat terkenal dari Amerika Serikat.
Ia adalah anggota keluarga Rockefeller, salah satu keluarga terkaya sepanjang sejarah di Amerika Serikat.
Pria yang lahir tahun 1938 itu adalah anak bungsu gubernur New York dan Wakil Presiden Amerika Serikat Nelson Rockefeller.
Kakek buyutnya adalah John D. Rockefeller, seorang filantropi pendiri yayasan Rockefeller Foundation yang terkenal.
Michael dikenal sebagai sosok yang gila berpetualang, bahkan ia pun menolak untuk melanjutkan bisnis keluarga demi tetap bisa berpetualang ke berbagai tempat.
Hingga suatu hari, ia hilang secara misterius dan menimbulkan kegemparan.
Segala cara dilakukan untuk menemukan keberadaan Michael, mulai dengan kapal hingga helikopter, menjelajahi daerah itu. Orangtuanya pun sampai turun tangan sendiri untuk mencarinya.
Tetapi, keberadaannya tak ditemukan dan dinyatakan mati secara hukum pada 1964. Berbagai spekulasi muncul soal penyebab kematiannya.
Melansir All That's Interesting, hilangnya Michael Rockefeller terjadi setelah anak konglomerat itu melakukan perjalanan kembali ke Papua Nugini ditemani Rene Wassing, antropolog pemerintah pada tahun 1961.
Sebelum perjalanan itu, dia dan tim peneliti dokumenter telah pergi ke Nugini Belanda.
Papua Nugini sendiri merupakan pulau besar di lepas pantai Australia (sekarang masuk Provinsi Papua, Indonesia).
Kepergiannya ke sana untuk mengumpulkan seni dari orang suku Asmat yang tinggal di sana, sebuah hal yang digemari oleh Michael.
Baca Juga: Hari HAM: Begini Keterkaitan Antara Hak Asasi Manusia dengan Kewajiban Asasi Manusia
Setelah lulus dari Harvard tahun 1960, Michael memang memutuskan untuk mencari 'seni-primitif' - sebuah istilah yang tidak lagi digunakan untuk seni non-Barat, khususnya yang berasal dari masyarakat adat.
Ketika tiba di Papua Nugini, tim Michael bukanlah sesuatu yang sepenuhnya disambut. Pada saat itu, perang antarsuku adalah hal biasa dan Michael mengetahui pejuang Asmat akan mengambil kepala musuh mereka dan memakan daging mereka.
Tetapi bagaimanapun, misinya selesai dan dia menulis rencananya untuk membuat studi antropologis rinci tentang Asmat dan memajang koleksi seni mereka di museum ayahnya.
Takdir berkata lain ketika ia melakukan perjalanan kembali ke tempat itu. Saat kapal mendekati Otsjanep pada 19 November 1961, tiba-tiba terjadi badai yang membalikkan kapal. Disebutkan mereka berada 12 mil dari pantai.
Sementara Wassing menempel di lambung kapal yang terbalik, dikisahkan Michael berkata pada Wassing, "Saya pikir saya bisa melakukannya," dan melompat ke air.
Itulah saat-saat Michael terakhir terlihat. Sehingga penyebab kematiannya secara resmi dinyatakan akibat tenggelam.
Tetapi, hilangnya anak konglomerat itu secara misterius menjadi sensasi dan rumor pun menyebar.
Salah satunya menyebutkan bahwa ia dimakan oleh orang-orang Suku Asmat, suku yang mendiami Papua Nugini.
Selain itu, beberapa mengatakan bahwa dia dimakan hiu saat berenang ke pulau, hinga spekulasi dia tinggal di suatu tempat di hutan Papua untuk melarikan diri dari kurungan kekayaan.
Ketika kasusnya dibuka kembali, pada tahun 2014, reporter National Geographic Carl Hoffman mengungkap dalam bukunya Savage Harvest: A Tale of Cannibals, Colonialism and Michael Rockefeller’s Tragic Quest for Primitive Art, menghasilkan bukti bahwa Michael dibunuh suku Asmat.
Dikatakan, mereka mengetahuinya dari misionaris yang tinggal di sana selama bertahun-tahun mengarah pada kesimpulan tengkorak yang diklaim suku Asmat milik Michael.
Tetapi, laporan itu terkubur dalam file rahasia dan tidak diselidiki lebih lanjut dan kabar ini tidak disampaikan oleh Belanda.
(*)