Intisari - Online.com -Sejarah mengenai kisahkerajaan Hindu-Buddha di Indonesiabegitu menarik, salah satunya mengenai kisah antaraKerajaan Majapahit dan Pajajaran.
Majapahit dan Pajajaranadalah dua kerajaan Hindu yang berkuasa hampir bersamaan.
Majapahityang dikenal sebagai kerajaan Hindu terbesar di Indonesia konon katanya tidak bisa menguasaikerajaan Pajajaran.
Kedua kerajaan itu juga sudah pernah berseteru hebat lewat Perang Bubat.
Perang Bubat adalah perang yang terjadi antara Majapahit dan Pajajaran akibat putri raja Sunda, Dyah Pitaloka, akan menikah dengan Raja Majapahit, Hayam Wuruk.
Pernikahan yang awalnya murni hubungan asmara dua sejoli itu justru diperkeruh karena Gajah Mada mensyaratkan Dyah Pitaloka bisa menikah dengan Hayam Wuruk asalkan Kerajaan Sunda tunduk di bawah Majapahit.
Melansir Kompas.com, kerajaan Sunda tentu saja menolak klaim ini, dan Raja Sunda saat itu bahkan konon katanya sampai memaki-maki Gajah Mada.
Akhirnya meletuslah Perang Bubat yang menewaskan banyak korban, salah satunya Raja Sunda.
Meski begitu, Sunda tetap tidak pernah tunduk kepada Majapahit.
Hal ini mungkin disebabkan oleh apa yang 'lahir' setelah Raja Sunda gugur.
Raja Sunda yang gugur tersebut adalah ayah dari Dyah Pitaloka, Prabu Linggabuana.
Ia memerintah antara tahun 1350 - 1357 dan gugur setelah Perang Bubat.
Setelah ia tewas, ia digantikan adiknya, Prabu Bunisora.
Setelah itu Majapahit tidak pernah lagi berusaha menguasai Kerajaan Sunda dan bahkan Majapahit mengalami kemunduran sedangkan Kerajaan Sunda menjadi semakin makmur.
Prabu Bunisora dikenal juga sebagai Batara Guru di Jampang, karena ia menjadi pertapa dan resi dan ulung.
Selanjutnya kepemimpinan Kerajaan Sunda dipegang Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kencana, anak Prabu Linggabuana yang baru berusia 9 tahun ketika Perang Bubat terjadi.
Niskala Wastu Kencana menjadi raja terbesar Kerajaan Sunda, ia memiliki dua permaisuri, yang pertama adalah Lara Sarkati dan kedua adalah Mayangsari.
Pernikahannya dengan Lara Sarkati menghasilkan putra Sang Haliwungan atau Prabu Susuktunggal menjadi Raja Sunda, sedangkan dengan Mayangsari lahirlah Ningrat Kancana atau Prabu Dewa Niskala, penguasa Galuh.
Setelah Niskala Wastu Kencana meninggal, kerajaan dipecah menjadi dua bagian antara Susuktunggal dan Dewa Niskala dan keduanya dalam keadaan sederajat menguasai Sunda dan Galuh.
Perdamaian mewarnai kepemimpinan mereka, dan keduanya mengajukan politik kesatuan wilayah dan para cucu Wastu Kencana saling menikah untuk politik persatuan tersebut.
Prabu Dewa Niskala memberikan tahta Kerajaan Galuh kepada putranya, Jayadewata, sedangkan Prabu Susuktunggal juga menyerahkan tahta Kerajaan Sunda kepada Jayadewata.
Nama lain Jayadewata adalah Sri Baduga Maharaja, dan setelah ia mendapatkan dua tahta kerajaan ia memutuskan berkedudukan di Pakuan, dan nama kerajaan diganti menjadi Kerajaan Pajajaran.
Di bawah naungan Sri Baduga Maharaja ini Pajajaran mencapai puncak perkembangan yang pesat.
Ia mengambil gelar Prabu Siliwangi, yang berasal dari dua kata 'silih' dan 'wewangi', artinya pengganti dan harum atau wangi.
Bisa dimaknai Prabu Siliwangi berarti Pengganti Prabu Wangi, nama lain dari Prabu Linggabuana yang tewas akibat Perang Bubat.
Konon, Niskala Wastu Kencana, anak dari Prabu Linggabuana, juga menggunakan gelar 'Wangi' ini.
Ada perdebatan antara para sejarawan yang menyebut istilah wangi diberikan kepada raja-raja Sunda yang dianggap masyarakat mengharumkan Sunda.
Namun, bisa dikatakan, setelah Perang Bubat yang mengerikan, Kerajaan Sunda justru tumbuh dan mencapai kemakmuran karena Prabu Siliwangi berhasil menjadi raja terbesar Kerajaan Pajajaran dan memerintah selama 39 tahun.
Baca Juga:Pura Tempat Menghilangnya Prabu Siliwangi
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini