Ia mengatakan, hanya dua periode istana kerajaan bertempat di Samplangan, sebelum akhirnya pindah ke wilayah Klungkung.
Setelah itu, tidak lagi ada yang tahu dengan tempat awal bersejarah ini.
Karena pusat kerajaan dari Samplangan pindah ke Klungkung.
“Keturunannya pun tidak ada yang tahu atau rungu, padahal ini adalah wit (awal) dari dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di Bali,” jelasnya.
“Beliau ingin dengan pembangunan ini, sebagai tempat suci saksi sejarah, agar generasi (preti sentana) turun-temurun dapat tetap mengetahui dan mempelajari kehidupan di masa lampau. Inilah yang kami wujudkan dengan dibangunnya padma, prasada, dan penyarikan sebagai saksi sejarah keraton Linggarsa Pura,” jelasnya.
Prasada tersebut, kata dia, adalah penunggalan (penyatuan) Majapahit dan Bali.
Terlihat dari segi arsitekturnya, yang merupakan campuran arsitektur Majapahit di Jawa dan Bali.
“Setelah hari ketiga gotong royong dalam pembangunan di sini, saya kembali melihat secara rohani kedatangan Ida Bhatara. Beliau berkeinginan agar dibuatkan patung Gajah Mada dengan membawa lontar dan keris, makna filosofinya ketika Gajah Mada melakukan penyelidikan di Bali,” katanya.
Patung Maha Patih Pranala Gajah Mada pun, terlihat dibangun dengan konsep rumah joglo dengan pakaian Jawa.
Sebagai tanda awal dia datang ke Bali dari Jawa atas titah Majapahit.
Patung ini pun disakralkan.
Uniknya, wajah dan perawakan patung Gajah Mada juga diwangsitkan dalam pertemuan gaib tersebut.
“Patung ini seberat 700 kg, dan dibawa oleh 20 orang dengan tandu bambu, melewati jalan setapak yang cukup jauh,” sebutnya.
Ia memperkirakan karena anugerah Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan, semuanya berjalan lancar.
Baik dari pembangunan hingga membawa patung yang cukup berat tersebut.
Patung yang dikerjakan di Ubung ini pun, tidak bisa dipindah-pindahkan.
(*)
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR