Advertorial
Intisari - Online.com -Sebuah foto dari Presiden Indonesia Joko Widodo mengenakan jaket bomber berdiri di samping senjata kapal perang telah menjadi terkenal beberapa tahun belakangan, seperti disampaikan oleh Profesor Hukum Universitas Indonesia, Aristyo Rizka Darmawan.
Peneliti muda di Institut Penelitian di Honolulu Pacific Forum Foreign Policy itu menulis artikel di media Malaysia, The Star, yang menyebut foto Jokowi yang terkenal itu sudah dipakai dalam berbagai headline media dan artikel berbagai berita.
Aristyo bahkan menyebut foto Jokowi juga dipakai menjadi sampul buku akademik yang memaparkan nasionalisme dan kedaulatan Indonesia.
"Foto itu diambil pada akhir tahun 2016. saat itu, Presiden memiliki pertemuan Kabinet skala kecil di kapal perang yang berlayar di Laut Natuna Utara, setelah sebuah kapal penangkap ikan China telah memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia secara ilegal. Ia berusaha mengirim pesan jika Jakarta akan menganggap pelanggaran hak kedaulatan apapun dengan serius," tulis Aristyo.
Lima tahun kemudian, sayangnya, menurut Aristyo, kekuatan gambar jaket bomber itu telah reda.
Aristyo mengatakan Indonesia masih menghadapi masalah yang sama dari Coast Guard China dan bahkan Angkatan Laut Tentara Pembebasan China kini malah menjadi pelindung kapal penangkap ikan atau kapal-kapal survei yang nyelonong memasuki ZEE Indonesia.
Foto Jokowi memang cukup sukses menunjukkan nasionalisme untuk menenangkan warga Indonesia, tapi disebut Aristyo gagal menghadang Beijing untuk mengirim kapal-kapalnya ke ZEE Indonesia.
Memang, Laut Natuna Utara adalah isu kompleks bagi Indonesia.
"Walaupun Indonesia tidak memiliki delimitasi tertunda apapun dengan China, Indonesia sering dipaksa bertindak karena klaim sembilan garis putus-putus China di Laut China Selatan yang tumpang tindih dengan ZEE Indonesia," papar Aristyo.
Di bawah Konvensi PBB untuk Undang-undang Laut (UNCLOS), Indonesia memiliki hak kedaulatan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di dalam ZEE dan landas kontinennya.
Artikel 73 dari UNCLOS juga memberikan wewenang bagi Indonesia untuk melaksanakan hukum nasional dan peraturannya terhadap kapal asing yang secara ilegal memasuki ZEE Indonesia tanpa persetujuan Indonesia.
Itulah sebabnya setelah insiden China, Indonesia selalu mengirim lebih banyak coastguard atau bahkan kapal perang Angkatan Laut untuk berpatroli di Laut Natuna Utara.
Namun, patroli tidak bisa dilakukan setahun penuh.
Masalah anggaran tampak menjadi penghadang utama mencegah kehadiran militer berkelanjutan di Laut Natuna Utara.
Aristyo menjelaskan, untuk menghadang China dari memancing ilegal dan sesuka hati survei di ZEE Indonesia, Jakarta perlu bergerak lebih dari strategi fokus pada militer di Laut Natuna Utara.
"Menggunakan kehadiran sipil untuk memfasilitasi semua sumber daya di wilayah itu sangatlah penting. Laut Natuna Utara dan Kepulauan Natuna memiliki sumber daya alam yang kaya seperti keanekaragaman hayati, dan juga potensi tambang.
"Pertama, Indonesia harus meningkatkan kehadiran kapal nelayan di Laut Natuna. Namun, sebagian besar nelayan lokal di Natuna kebanyakan beroperasi skala kecil, berlayar 200 mil laut di ZEE tetap menjadi tantangan.
"Indonesia perlu diakui sudah mencoba mengirimkan kapal nelayan besar dari Jawa untuk menangkap ikan di Laut Natuna Utara. Namun, tampaknya rencana ini menciptakan ketegangan dengan nelayan lokal Natuna. Itulah sebabnya akan lebih baik bagi pemerintah mendukung dan memfasilitasi nelayan lokal Natuna dengan kapal-kapal besar untuk dipakai di ZEE."
Ada alasan mengapa Aristyo berpendapat demikian.
Dosen Universitas Indonesia itu menyebut aktivitas menangkap ikan skala industri akan meningkatkan aktivitas Indonesia di Natuna, sehingga Indonesia perlu membangun industri perikanan di wilayah penuh sengketa tersebut.
Ia juga menjelaskan pemerintah seharusnya mempertimbangkan mendukung nelayan lokal untuk memperluas pasar ke luar negeri.
Selanjutnya ia sebut industri modern dengan teknologi lebih canggih akan meningkatkan kapasitas ekspor wilayah dan menciptakan pekerjaan bagi warga lokal.
Langkah kedua, menurutnya adalah Indonesia seharusnya mempertimbangkan mengeksploitasi potensi besar Natuna untuk wisata maritim, mengingat pantai-pantai Natuna yang indah dan pemandangan yang spektakuler.
Di bawah Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif Sandiaga Uno, Indonesia sedang mencoba memulihkan sektor wisata yang lumpuh karena Covid-19.
Sering, menurut Aristyo, jika pemerintah telah menekankan potensi wisata Natuna, tapi pembangunan di wilayah itu masih tertinggal, sama halnya dengan jumlah penerbangan menuju Natuna, jumlah hotel dan berbagai hiburan di pulau tersebut.
"Seperti ungkapan itu, sekalinya Anda membangunnya, mereka akan datang. Indonesia harus membangun infrastruktur wisata yang layak sebelum mempromosikan Natuna kepada pasar turis lokal dan mancanegara. Hal ini bisa termasuk melibatkan investor sektor swasta baik dari Indonesia maupun luar negeri."
Langkah selanjutnya menurut Aristyo adalah Indonesia harus meningkatkan penelitian ilmiah maritim di Laut Natuna Utara.
Memang Laut Natuna adalah termasuk ZEE Indonesia, tapi bukti menunjukkan penggunaan konsisten dan eksploitasi sumber daya wilayah yang dipakai oleh China.
Masih jelas di ingatan ketika Haiyang Dizhi Shihao 10 milik China memasuki ZEE Indonesia dan melakukan survei atau penelitian ilmiah maritim tanpa persetujuan Indonesia.
Sebelum insiden yang sama terulang kembali, menurut Aristyo, Indonesia seharusnya melakukan lebih banyak penelitian sendiri di Laut Natuna Utara.
Infrastrukturnya sudah menunjang lewat Badan Inovasi dan Penelitian Nasional yang baru terbentuk.
Pelaksanaan penelitian di Natuna menurutnya akan membantu Indonesia menemukan potensi lebih dari sumber daya laut dan keanekaragaman lain di wilayah tersebut.
Terakhir saran dari Aristyo adalah ada juga kasus eksplorasi dan eksploitasi landasan kontinen laut di Laut Natuna Utara, di luar 200 mil laut seperti digambarkan di ZEE.
Tahun 2016, Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam mengumumkan jika mereka akan meningkatkan aktivitas eksplorasi tambang dan eksploitasi di landasan kontinen laut.
Peningkatan eksplorasi sumber daya Indonesia ini menurut Aristyo juga akan menuntun pada kehadiran sipil lebih besar di wilayah itu.
Strategi militer dan diplomasi sendiri untuk merespon provokasi dan ketegangan wilayah menurut Aristyo, tidak akan cukup.
Indonesia, lanjutnya, harus melaksanakan kebijakan laut terintegrasi dan membangun infrastruktur yang diperlukan untuk meningkatkan aktivitas ekonomi dan kehadirannya di wilayah itu.
"Kehadiran sipil yang kuat di wilayah itu akan menjauhkan China dari Natuna, dan mengukuhkan fakta jika Natuna adalah wilayah yang hanya bisa dieksploitasi Indonesia."
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini