Intisari-Online.com -Lebih dari dua dekade silam, tepatnya pada 30 Agustus 1999, masyarakat Timor Timur menentukan nasib mereka sendiri melalui referendum.
Mereka diberi dua pilihan, tetap bergabung dengan Indonesia sebagai provinsi ke-27 atau melepaskan diri dan menjadi negara mandiri.
Hasilnya, sebanyak344.580 orang atau 78.5 persen warga Timor Timur memilih merdeka.
Sisanya, sebanyak94.388 orang atau 21,5 persen memilih untuk tetap bergabung dengan Indonesia.
Hasil tersebut seperti jelas terlihat, akhirnya harus membuat Indonesia rela kehilangan Timor Timur.
Wilayah ini kemudian berdiri sebaga sebuah negara dengan nama Timor Leste, yang status resminya diperoleh pada 20 Mei 2002.
Mereka yang saat referendum memilih untuk merdeka, tentu saja akan tetap tinggal di Bumi Lorosae.
Namun, bagi mereka yang memilih sebaliknya, sebagian besar memilih untuk menyeberang ke Nusa Tenggara Timur, wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan Timor Leste.
Berbekal pilihan untuk tetap setia dengan Indonesia, mereka berharap akan mendapatkan perhatian dan tentu saja bantuan dari pemerintah Indonesia.
Namun, nasib berkata lain, mereka justru terkatung-katung di pengungsian dengan status yang tidak jelas.
Fredu Simenes, warga asli Timor Timur yang memilih mengungsi, secara gamblang bahkan sampai menyatakan dirinya telah salah memilih saat referendum.
“Kami sebenarnya salah pilih pada tahun 1999 itu,” kata Simenes.
Lebih dari dua dekade berlalu sejak referendum dilaksanakan, para eks pengungsi Timor Timur ini hidup dalam ketidakpastian hak atas tanah yang kini mereka tinggali.
Mereka pun sempat memutuskan untuk melakukan unjuk rasa menuntut kepastian status lahan yang mereka tempati pada Jumat (10/12/2020).
Unjuk rasa tersebut berjalan dengan "panas" hingga menyebabkan enam warga terluka, termasuk satu orang yang diduga kena tembak.
"Kami hanya minta pemerintah supaya melihat kami eks Tim-Tim ini. Kami hidupnya sengsara, makan minum saja setengah mati. Dan tolong berikan hak atas tanah, status yang jelas saja. Hanya mau itu, tuntutan kita hanya itu saja," tutursalah seorang warga eks pengungsi Timor Timur, Juana de Araujo Fernandes, seperti dilansir BBC News Indonesia, Selasa (15/12/2020).
Salah seorang pengungsi lain,Misaqui de Jesus Agustinho, mengisahkan kondisi keterbatasan hidup yang dijalaninya di kamp pengungsi Tuapukan.
Pria yang tinggal di kamp tersebut sejak usia 6 tahun tersebut mengisahkan kehidupan para pengungsi memburuk usai bantuan dari PBB berhenti setelahpada 2002, status pengungsi dihapus oleh UNHCR.
"Sesudah itu kita mulai hidup cari kayu untuk buat rumah darurat sementara," ujar pria yang lahir di Dili, Timor Leste ini.
"Kita potong kayu untuk dibuatkan tiang untuk rumah. Daun lontar dijadikan atap kita. Karena kita tidak bisa membeli alat-alat, bahan bangunan, jadi kita memakai apa yang ada di lingkungan kita," tuturpria yang akrab dipanggil Oky ini.
"Dan sampai sekarang kita masih hidup di rumah beratapkan daun lontar, dengan [dinding] bebak-bebak yang hampir lapuk."
'Ditolong' Risha
Namun, kini, para eks pengungsi Timor Timur ini boleh sedikit bernapas lega dalam menatap masa depan anak cucu mereka.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mulai membangunrumah khusus (rusus) di Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menteri PUPRBasuki Hadimuljono, pembangunan rusus di perbatasan Indonesia-Timor Leste tersebut ditujukan untukWarga Negara Indonesia (WNI) eks-pengungsi Timor Timur.
"Ini merupakan bukti nyata bahwa Pemerintah hadir dalam penyediaan hunian layak," tegas Basuki dikutip dari siaran pers, seperti dilansir Kompas.com, Senin (13/09/2021).
Tidak tanggung-tanggung, jumlah Rusus yang akan dibangun mencapai 300 unit, dengan 100 unit di antaranya sudah berdiri.
Program ini sendiri bisa terlaksana berkat kehadiranteknologi Rumah Instan Sehat Sederhana Sehat (RISHA).
Teknologi ini selama ini digembar-gemborkan bisa menjadisolusi alternatif rumah layak huni dengan harga terjangkau.
Bayangkan saja,untuk membangun rumah tipe 36 yang sudah dalam standar kesehatan, kita hanya perlu merogoh kocek Rp27 juta.