Intisari-Online.com - Bukan hal asing lagi mendengar PKI dikaitkan dengan Peristiwa 30 September 1965, tetapi bagaimana dengan badan intelijen AS, CIA?
Di antara sekian banyak teori soal peristiwa G30S, salah satunya menyebut keterlibatan Amerika Serikat melalui CIA.
Teori tersebut mungkin yang paling sulit dipahami, jauh berbeda dengan narasi Orde Baru yang “mengkambinghitamkan” PKI seutuhnya.
Lalu, bagaimana teori tersebut menjelaskan keterlibatan Amerika dalam peristiwa G30S?
Seperti banyak diketahui, hubungan Soekarno dan Amerika saat itu tak bisa dibilang harmonis.
Soekarno adalah sosok yang dikenal berani menentang Amerika.
Diuraikan Tim Weiner dalam bukunya Legacy of Ashes: The History of the CIA (2011) menuturkan, saat itu AS mengkhawatirkan sikap Presiden Soekarno yang cenderung memihak komunisme.
Terlebih, Soekarno juga pernah menghina AS dengan menolak bantuan keuangan dari IMF. "Go to hell with your aid!" begitu ungkapan Soekarno yang menolak bergabung dengan Blok Barat.
Dikisahkan, CIA diberi tugas untuk menyingkirkan Soekarno.
Melaksanakan misi tersebut, sejak dekade 1950-an, CIA mencoba berbagai operasi rahasia mulai dari membuat film porno dengan Soekarno palsu hingga menyuplai senjata untuk pemberontakan.
Selain itu, Amerika mencoba mendekati militer, kendati militer sendiri terpecah menjadi beberapa faksi.
Satu tokoh yang diyakini bisa digunakan Amerika Serikat adalah Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani.
"Duta Besar Amerika yang baru untuk Indonesia, Howard Jones, mengirim pesan telegram kepada Menlu, mengabarkan bahwa Jenderal Nasution adalah antikomunis yang dapat dipercaya dan para pemberontak tidak memiliki peluang untuk menang," tulis Weiner.
Sementara teknisi telekomunikasi asal Jerman, Horst Henry Gerken dalam bukunya A Magic Gecko, Peran CIA di Balik Jatuhnya Soekarno (2011) bercerita, keresahan politik saat itu sudah tersebar di mana-mana.
Bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) tumbuh besar dan diisi atau terafiliasi dengan sejumlah politisi penting, tokoh militer, dan pengusaha.
Konon, jika kudeta terjadi, harta milik semua orang akan disita atau dilikuidasi. Kondisi politik saat itu amat membingungkan.
Pengganti Howard Jones, Marshall Green, dan agen CIA Edward Masters baru membeberkan keterlibatan CIA dua dekade kemudian.
Menunjukkan pengaruh PKI justru lebih sedikit dalam kudeta dibandingkan CIA.
Disebut, kebijakan Soekarno yang anti-Barat dan berorientasi ke Cina menjadi momok bagi AS dan Inggris.
Demikian juga bagi kelompok-kelompok muslim garis keras dan para jenderal. AS bersekutu dengan mereka yang juga tak suka dengan Soekarno.
Kemudian, Amerika disebut memberikan bantuan yang disamarkan kepada Angtkatan Darat, termasuk menurunkan peralatan komunikasi yang sangat maju.
Marshall Green pernah mengadakan pertemuan rahasia dengan Adam Malik, agen CIA McAvoy, dan Soeharto. Adam Malik saat itu adalah Duta Besar Indonesia di Rusia yang dipecat oleh Soekarno.
Keempatnya bicara soal membebaskan Indonesia dari komunisme. Pasalnya, Soekarno dianggap terlalu lemah dalam menangani PKI.
"Saya memerintahkan agar ke-14 walkie talkie yang ada di Kedutaan Besar untuk keadaan darurat diserahkan kepada Soekarno... Ini untuk keamanan internal tambahan bagi dia dan pejabat terasnya sendiri," kata Green.
Peralatan itu disebut sekaligus jadi alat sadap Kedubes AS. Sementara untuk menyembunyikan dukungan AS bagi Soeharto pada tahap awal, Angkatan Darat diberi pasokan medis senilai 500.000 dolar AS yang bisa dijadikan uang tunai.
Selain itu, atas saran Green, Adam Malik secara diam-diam juga akan diberi uang.
Green menulis sebuah telegram ke pemerintahnya yang berbunyi, "Keinginan kami untuk membantunya dengan cara ini, menurut saya akan menggambarkan dukungan kami atas perannya dalam upaya tentara yang anti-PKI, dan meningkatkan hubungan kerja sama yang baik antara dia dan tentara.
"Kemungkinan bahwa dukungan kami akan terdeteksi atau terungkap sangat minimal," ujarnya.
(*)