Intisari-online.com -Benua Eropa adalah salah satu wilayah yang terbilang damai setelah Perang Dunia I dan II.
Tampaknya tidak pernah ada konflik agama di benua itu.
Namun ternyata Eropa juga pernah melihat konflik agama.
Hal ini terjadi antara Inggris dengan salah satu jajahannya.
Walaupun tidak pernah terjadi konflik bersenjata, tapi konflik yang dialami Inggris itu ternyata terasa dampaknya sampai sekarang.
Akar masalahnya sudah berabad-abad yang lalu, yaitu ketiga intervensi Anglo-Norman ke Irlandia 1167, seperti dikutip dari history.co.uk.
Ketika Inggris pertama kali sampai di wilayah tersebut, Inggris nyatanya tidak pernah menyatukan diri dengan Irlandia.
Padahal populasi Inggris dan Irlandia hampir mirip.
Hal itu menyebabkan dua populasi yang terpisah dengan kepentingan yang berbeda hidup berdampingan di pulau yang kecil.
Perbedaan ini semakin kontras ketika kekuasaan Raja Henry VIII.
Raja Henry VIII atau Henry Tudors adalah salah satu raja Inggris paling kontroversial.
Ia memisahkan diri dari gereja Roma, menyebabkan hubungannya dengan Katholik Eropa dalam posisi yang sulit.
Kemudian ia mengenalkan agama baru, Protestan, ke dalam politik Irlandia pertama kalinya.
Perlawanan terhadap Kerajaan Inggris dimulai tahun 1534 ketika pewaris Kildare, Lord Ofaly, memimpin revolusi Katholik melawan Raja Protestan Inggris di Irlandia.
Namun perlawanan berhasil ditangani dan mereka yang terlibat kemudian dieksekusi.
Elizabeth I melanjutkan warisan ayahnya, Henry VIII, di Irlandia.
Sedikit kemerdekaan yang diraih oleh Hugh O'Neill, pangeran Tyrone, mutlak dikalahkan oleh pasukan Ratu, dengan kependudukan pasca perang yang kasar menyebabkan bangkitnya kekuatan Katholik di masa depan.
Sementara itu, perkebunan dibangun di seluruh negara.
Tanah-tanah yang dimiliki oleh pemilik lahan Irlandia direnggut terutama di Munster dan Ulster.
Tanah-tanah itu kemudian disebarkan ke pada para kolonis, yang secara umum dikenal sebagai para petani yang datang berbondong-bondong dari Inggris, Skotlandia dan Wales.
Perkebunan resmi terakhir muncul di bawah Persemakmuran Inggris Oliver Cromwell tahun 1650, ketika ribuan tentara Parlemen ditempatkan di Irlandia.
Perkebunan itu mengubah penduduk Irlandia, karena komunitas Protestan Inggris yang besar terbentuk, identitas mereka pun sama anehnya dengan para penduduk Irlandia penganut Katholik Roma.
Nama Cromwell tidak sejalan dengan pembentukan perkebunan di Irlandia, tapi dengan kebrutalan yang terjadi di sana.
Perang Drogheda menjadi salah satunya.
Pada September 1649, Cromwell mengirimkan pengepungan di Drogheda, kota di pantai Timur Irlandia, yang telah diduduki oleh koalisi Katholik Roma, Sekutu dan Pendukung negara yang ingin mengeluarkan warga Inggris dari Irlandia.
Pasukan Cromwell tidak menunjukkan belas kasihan, dan seluruh 2800 pasukan pertahanan Drogheda dibantai secara massal.
Di akhir abad ke-17, melawan latar belakang sengketa yang kemudian semakin memperumit hubungan kedua populasi, posisi Katholik sangat dikompromasikan.
Memang, Perang Boyne (1690) yang menyebabkan Raja Katholik James II dikalahkan oleh Raja Protestan William III, mengamankan supremasi Protestan.
Undang-undang baru terbentuk yang membatasi kepemilikan properti Katholik lebih jauh lagi, bersama dengan membatasi hak mereka pada pendidikan, menjadi tentara dan warga Irlandia dipaksa keluar dari pekerjaan juru tulis.
Bahkan bagi yang tampaknya tidak terdampak oleh hukum, faktanya merasa harga dirinya tercoreng juga karena tanah mereka menjadi milik warga asing.
Akhirnya, pergerakan reformasi 'patriotisme' terbentuk, yang dimulai untuk melobi agar bisa berpidato di Parlemen.
Saat itulah suara nasionalisme Irlandia pertama sudah dibuat.
Inggris tidak dapat mengabaikan tuntutan kemerdekaan Irlandia lagi, lagipula saat itu dunia juga mulai berubah, dengan AS dan Perancis sudah mengalami evolusi di separuh akhir abad ke-18.
Akhirnya undang-undang pun dilonggarkan.
Kemudian masuklah pada dimulainya abad ke-20, pasca Perang Dunia I, Irlandia terpecah menjadi dua pihak, Persaudaraan Republik Irlandia (IRB) mendukung kemerdekaan Irlandia sedangkan populasi Protestan di Ulster tetap ingin menjadi bagian dari Kerajaan Inggris.
Mulai terjadi banyak pemberontakan antara Irlandia dan Inggris, dan seringnya Inggris memenangkan konflik dengan cara pembantaian massal, walaupun tidak memenangkan perang dingin tersebut.
Gerakan Sinn Fein yang dibentuk 1905 (Diri Kita Sendiri) menjadi tokoh penting dalam pemberontakan itu, dan tahun 1917 gerakan Sinn Fein dipimpin oleh Eamon de Valera, salah satu pemimpin pemberontakan Irlandia yang berhasil selamat.
Semua kelompok kemudian bekerja menuju Irlandia yang merdeka yang bersatu di bawah kepemimpinan tunggal.