Intisari-online.com -Ratusan pengungsi Afghanistan menggelar protes di Indonesia tepatnya di Jakarta, melanggar aturan PPKM bahkan melawan polisi agar suara mereka didengar.
Para pengungsi tersebut mengatakan mereka perlu ditawari rumah baru setelah repatriasi bukan lagi pilihan dengan kembalinya Taliban.
Melansir Reuters, ribuan pengungsi dari Afghanistan yang sebagian besar adalah etnis minoritas Hazara, telah tinggal di Indonesia bertahun-tahun.
Mereka diburu Taliban dan di Indonesia menunggu penempatan di negara ketiga seperti Kanada atau Australia.
Selasa kemarin, ratusan pengungsi berkumpul di luar kantor Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) di Jakarta.
"Tahun lalu UNHCR telah mengatakan kepada kami hanya ada 1% kemungkinan penempatan kembali," ujar pengungsi Hakmat Ziraki dikutip dari Reuters.
"Kami sekarang datang bertanya 'apa jawaban Anda? Apa masih mendorong repatriasi sukarela?'
"Orang kami meninggal setiap hari," ujarnya.
"Kami memerlukan keadilan, penempatan kembali caranya."
Seorang juru bicara UNHCR mengatakan situasi di Afghanistan tidak punya dampak apapun terhadap status pengungsi Afghanistan di Indonesia atau negara lain dan program penempatan kembali akan berjalan seperti biasa.
Indonesia bukan merupakan negara di dalam daftar Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951.
Biasanya Indonesia juga dipandang sebagai negara singgah bagi yang mencari suaka ke negara ketiga.
Protes ini juga membuat para pengungsi dibubarkan secara paksa oleh polisi.
Para polisi sebelumnya memperingatkan agar mereka bubar sendiri karena risiko Covid-19.
Kekejaman Australia di Afghanistan
Sedikit ironis mengingat pengungsi Afghanistan ingin ditempatkan di Australia.
Tahun lalu, Australia terlibat dalam kasus penganiayaan terhadap warga Afghanistan.
Hal ini dilakukan oleh tentara Australia yang bertugas di Afghanistan.
19 tentara khusus dan mantan tentara khusus diinterogasi polisi atas kasus pembunuhan tahanan, petani atau rakyat sipil yang berlangsung antara tahun 2009-2013.
Rupanya, hal itu menjadi budaya mengerikan tentara Australia.
Departemen Pertahanan Australia menyebutnya sebagai 'budaya prajurit' yang disebut sebagai 'pendarahan'.
Para tentara junior diminta lakukan pembunuhan pertama kali dengan menembaki para tahanan.
Hal itu sebagai semacam inisiasi.
Kemudian senjata dan peralatan lain ditanam di dekat jasad warga Afghanistan yang terbunuh.
Bertujuan menutupi kejahatan yang mereka lakukan.
Australia sudah sejak tahun 2002 mengirim pasukan ke Afghanistan.
Segera setelah Taliban digulingkan oleh bantuan AS, Australia menyusul kirimkan bala tentara.
Sebagai bagian dari pasukan internasional, tugas mereka adalah melatih pasukan Afghanistan.