Advertorial

Inilah Sohei, Biksu Prajurit Jepang pada Abad Pertengahan, Tetap Pakai Tasbih Ketika Berperang, Gunakan Baju Besi dan ‘Rok’ Panjang Lebar, Juga Senjata yang Dibawa-bawa Samurai

K. Tatik Wardayati

Editor

Intisari-Online.com – Mungkin kita berpikiran dahulu mereka yang terjun ikut ikut berperang adalah para tentara profesional dan mereka yang bertekad membela bangsa dan negara.

Tapi, tidak dari kelompok orang yang berhubungan dengan hal-hal keagamaan.

Pandangan modern Budhhisme adalah salah satu keyakinan yang damai dan spiritual, di mana para penyembah menetapkan jalan menuju pencerahan melalui meditasi dan disiplin.

Tetapi, sohei Jepang feodal, sama sekali tidak memiliki rasa damai.

Baca Juga: Bingung Bedanya Ninja, Samurai, bahkan Ronin? Simak Penjelasan tentang Prajurit Tradisional Jepang yang Lengkap Ini

Sohei berarti ‘biksu prajurit’.

Mereka muncul di awal abad pertengahan, karena sekte-sekte agama Buddha yang berbeda akhirnya saling angkat senjata.

Mereka merupakan kekuatan politik utama di Jepang, menakutkan bukan hanya karena kehebatan mereka dalam perang tetapi juga karena mereka membawa otoritas spiritual yang sangat besar.

Mereka dapat menjatuhkan kutukan kepada siapa punyang tidak menyenangkan bagi mereka.

Baca Juga: Dari Ninja, Samurai, Sampai Sshigaru, Inilah Penjelasan Tentang Prajurit Tradisional Jepang di Zaman Dulu

Secara keseluruhan kefektifkan mereka dapat diringkas dalam kata-kata kaisar abad ke-12 Go Shirakawa-In, “Ada tiga hal yang berada di luar kendali saya, jeram di sungai Kamo, dadu dalam perjudian, dan para biarawan gunung.”

Peralatan sohei sedikit berbeda dari yang digunakan oleh samurai.

Mereka mengenakan kimono biasa dan celana panjang lebar.

Dengan pakaian yang biasanya berwarna putih atau kunyit.

Mereka juga menggunakan baju besi samurai tradisional, dari konstruksi besi pipih, dengan ‘rok’ panjang melindungi kaki bagian atas.

Jaket gelap biasanya dikenakan setelah baju besi.

Para biksu langsung dikenali karena mereka mengenakan penutup kepala putih pada kepala mereka yang dicukur, yang dililitkan hingga hanya bagian mata yang terlihat.

Beberapa, tetapi tidak semua, memakai helm.

Senjata paling populer di gudang senjata biksu prajurit adalah naginata, sebuah polearm seperti pedang yang mereka gunakan dengan sangat mahir.

Baca Juga: Hiroo Onoda, Prajurit Jepang yang Pantang Menyerah Meski Perang Dunia II Telah Usai Hampir 3 Dekade, Sampai Pimpinannya Harus Datang Langsung Menjemputnya

Mereka juga membawa katana (pedang) dan tanto (belati) yang diselipkan di ikat pinggang.

Banyak sohei yang juga pemanah ahli.

Fitur yang membedakan termasuk penutup kepala, dan sebagian besar biksu mengenakan tasbih kayu di leher mereka.

Banyak biksu prajurit mengenakan geta (sandal kayu).

Meskipun ini tidak praktis dalam pertarungan, apakah mereka memakainya saat pertempuran, masih menjadi perdebatan.

Saat kampanye militer, sohei membawa mikoshi (kuil portabel) bersama mereka.

Inilah yang menakutkan bagi musuh mereka,karena melakukan kekerasan di hadapan benda suci seperti itu dikatakan penghujatan yang ekstrem.

Biksu prajurit setia pada kuil mereka.

Beberapa yang paling terkenal (atau terkenal buruk) adalah sekte Negoroji, Nara, Miidera dan Gunung Hiei.

Baca Juga: Gunakan Samurai Prajurit Jepang yang Telah Menebas Lengannya, Letnan George Cairns Tak Tanggung-tanggung Mampu Menangkan Pertempuran Hanya dengan Satu Tangan

Sebagian besar pertikaian antara sekte-sekte yang bersaing tidak bersifat sekuler, yaitu hampir semua kekerasan berakar pada politik.

Perang sohei menjadi berbeda dari perselisihan agama di Eropa pada abad pertengahan.

Dukungan sohei bisa berarti perbedaan antara kemenangan atau kekalahan dalam suatu konflik.

Banyak panglima perang samurai membenci mereka, mencap mereka sebagai akuso (biksu jahat), sementara yang lain dengan takut-takut mendukung mereka.

Oda Nobunaga, salah satu jenderal besar yang menempatkan Jepang di jalur unifikasi, memiliki alasan khusus untuk membenci mereka.

Para biarawan Gunung Hiei menjadi sekutu keluarga Asai dan Asakura, beberapa saingan terbesar Nobunaga.

Nobunaga mengalahkan mereka dalam pertempuran pada tahun 1570, tetapi mereka menyerang kembali akhir tahun itu.

Dikalahkan oleh jenderal Nobunaga, Toyetomi Hodeyoshi, mereka melarikan diri ke pegunungan dan diselamatkan oleh sohei Gunung Hiei.

Baca Juga: Inilah Pertempuran Samurai Terbesar Sepanjang Sejarah, dari Pertempuran dengan Tangan Kosong Hingga Seorang Anak Pandai Besi yang Bisa Buktikan Kepemimpinannya

Lelah dengan campur tangan mereka, Nobunaga meluncurkan operasi militer melawan para biarawan pada bulan September 1571, menghancurkan sepenuhnya kompleks kuil Gunung Hiei dan membantai setiap pria, wanita, dan anak, hingga lebih dua puluh ribu orang.

Nobunaga membenci sohei dan melancarkan sejumlah kampanye melawan mereka, semuanya mengakibatkan pembantaian besar-besaran.

Ketika Jepang secara bertahap berada di bawah pengaruh pemersatu tunggal, pertama Nobunaga, kemudian penggantinya Hideyoshi, dan akhirnya Tokugawa Ieyasu, pusat terakhir otoritas sohei independen dibawa ke tumit.

Hari-hari para biksu prajurit telah berakhir.

Baca Juga: Inilah Perlengkapan yang Digunakan Para Samurai, dari Pedang Panjang yang Menakutkan Hingga Kipas Pemberi Sinyal Pesan

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait