Intisari-Online.com - Pada 7 Desember 1975, Indonesia menginvasi Timor Leste yang saat itu dikenal sebagai Timor Portugis.
Saat itu, Timor Timur baru saja lepas dari penjajahan Bangsa Portugis yang berlangsung selama ratusan tahun, hanya diselingi pendudukan oleh Pasukan Jepang selama Perang Dunia II.
Keberhasilan invasi terssebut membuat wilayah Timor Portugis kemudian menjadi provinsi ke-27 Indonesia, provinsi termuda saat itu.
Selama lebih dari 2 dekade selanjutnya, Timor Leste adalah bagian dari Republik Indonesia, hingga tahun 1999 digelar referendum untuk menentukan nasib wilayah tersebut.
Invasi Indonesia atas Timor Portugis yang juga dikenal sebagai Operasi Seroja disebut memakan korban puluhan ribu orang Timor.
Pada bulan Maret 1976, pemimpin UDT Lopes da Cruz melaporkan bahwa 60.000 orang Timor telah tewas selama invasi.
Sementara dalam sebuah wawancara pada 5 April 1977 dengan Sydney Morning Herald, Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik mengatakan jumlah korban tewas adalah "50.000 orang atau mungkin 80.000".
Tidak sepenuhnya bergerak sendiri, dalam peristiwa ini Indonesia juga mendapat dukungan dari Amerika Serikat (AS) dan Australia.
Tahun 1977-1978, militer Indonesia memperoleh persenjataan canggih baru dari Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara lain, untuk menghancurkan basis Fretilin.
Bahkan sebelum dimulainya invasi, kedua negara tersebut telah memberikan dukungan, salah satunya terhadap Deklarasi Balibo.
Itulah deklarasi oleh rakyat Timor Timur yang mendahului invasi Indonesia ke wilayah tersebut.
Deklarasi Balibo adalah penyataan oleh perwakilan masyarakat Timor Timur untuk bergabung dengan Indonesia.
Deklarasi ini dilontarkan oleh Xavier Lopez da Cruz pada 30 November 1975 di Balibo, Timor Leste.
Pernyataan untuk bergabung dengan Indonesia dilakukan menyusul deklarasi kemerdekaan sepihak oleh Fretilin pada 28 November 1975.
Saat itu, Timor Leste terpecah menjadi beberapa kelompok yang mengusung kepentingannya masing-masing.
Setelah Portugis melakukan dekolonisasi dan Timor Leste mengalami kekosongan kekuasaan, Gubernur imor Timur memberi kebebasan politik kepada warganya, terbentuklah lima partai politik.
Lima partai politik tersebut di antaranya:
UDT yang dipimpin oleh Mario Viegas Carascalao menghendaki Timor Timur tetap berada di bawah kekuasaan Portugal.
FRETILIN yang dipimpin oleh Xavier de Amaral ingin membentuk negara merdeka.
Sementara Apodeti yang dipimpin oleh Arnaldo dos Reis Araujo ingin bergabung bersama Indonesia.
Namun pada akhirnya, kelompok masyarakat Timor Timur yang terdiri atas UDT, Apodeti, KOTA, dan Trabalhista kemudian sepakat menyampaikan proklamasi tandingan ketika Fretilin mendeklarasikan kemerdekaan sepihak. Proklamasi tandingan ini terjadi di Balibo pada 30 November 1975.
Pernyataan yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Balibo ini menyatakan keinginan Timor Timur untuk berintegrasi dengan Republik Indonesia.
Adapun tujuan Deklarasi Balibo adalah meminta Indonesia untuk menyerbu dan mengambil alih Timor Timur.
Lahirnya Deklarasi Balibo pun memperkuat legitimasi pemerintah Indonesia untuk menginvasi Timor Portugis, untuk kemudian secara de facto memasukkannya ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Deklarasi Balibo ini mendapat dukungan dari Amerika Serikat dan Australia, yang khawatir akan keberadaan FRETELIN yang didominasi oleh komunis.
Setelah pada 7 Desember pasukan Indonesia datang, pada 17 Desember 1975 kelompok pro integrasi menyatakan berdirinya Pemerintah Sementara Timor Timur (PSTT).
Pemerintah Sementara tersebut dipimpin oleh Arnaldo dos Reis Araujo dan Francisco Xavier dari Apodeti.
Sementara itu, proses integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia secara resmi disahkan melalui UU no 7 tahun 1976 tentang penyatuan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I di Timor Timur.
(*)