Intisari-Online.com - Haiti, negara termiskin seantero Amerika, kini tengah diambang status 'negara gagal' usai presidennya tewas.
Ya, Presiden Haiti Jovenel Moïse, tewas di tangan orang-orang bersenjata di rumahnya sendiri, Rabu (7/7/2021).
Tak ayal, peristiwa tragis ini menggiring pada krisis konstitusional serta lonjakan kekerasan geng.
Namun, di luar kematiannya, sebenarnya Moïse yang berjuluk 'manusia pisang' memang memiliki dosa tak termaafkan oleh rakyatnya.
Haiti sendiri dalam beberapa pekan terakhir memang tengah mengalami lonjakan kekerasan di ibu kota mereka, Port-au-Prince.
Selain itu, kondisi politik dan ekonomi di negara Karibia ini memang sangat sulit untuk dikatakan baik.
Hingga akhirnya sekelompok pria yang menenteng senjata serbu menerobos masuk rumah pribadi Moïse di perbukitan Port-au-Prince.
Istrinya, Martine Moïse, juga turut menjadi korban serangan. Namun, Martine lebih beruntung dibanding suaminya karena nyawanya berhasil diselamatkan.
Claude Joseph, Perdana Menteri sementara Haiti menyebut beberapa penyerang menggunakan bahasa Spanyol.
Tidak digunakannya bahasa Prancis atau Kreol, yang umum digunakan di Haiti, inilah yang memicu spekulasi keterlibatan tentara bayaran dalam pembunuhan Moïse.
Joseph sendiri, seperti dilansir dari Washington Post, menggambarkan serangan tersebut sebagai hal yang "menjijikkan, tidak manusiawi dan biadab."
Moïse yang berjuluk 'manusia pisang' karena pekerjaan masa lalunya sebagai pengusaha pisang sukses, menjabat pada 2017.
Dia terpilih setelah melalui proses pemilihan selama 14 bulan yang penuh dengan kekerasan dan tuduhan penipuan.
Ya, sebenarnya Moïse sudah memenangkan pemilu pada 2016 di mana dirinya dianggap sebagai pemenang.
Inilah awal dari keresahan masyarakat dan sikap keras dari para penentangnya dari kelompok oposisi.
Dengan terpilih pada 2016, maka sepatutnya Moïse akan mengakhiri jabatannya sebagai Presiden pada 2021 ini.
Namun, karena segala kekisruhan yang terjadi selama 14 bulan, yang membuat dirinya baru dilantik pada 2017, maka Moïse merasa dirinya masih berhak untuk menjabat hingga 2022.
Seiring dengan kondisi politik yang memburuk, kondisi keamanan masyarakat Haiti pun berada di titik terendah.
Kasus penculikan, pemerkosaan, hingga pembunuhan yang dilakukan oleh geng-geng mengalam lonjakan tinggi.
Para anggota geng ini bertempur langsung dengan para polisi dan seolah-olah sedang saling memperebutkan wilayah.
Di sinilah dosa terbesar Moïse diyakini oleh sebagian masyarakat, terutama aktivis hak asasi manusia, berasal.
Para geng tersebut sangat diyakini memiliki keterkaitan erat dengan pemerintahan, yang tidak lain dipimpin oleh Moïse.
Apalagi, akibat perang "geng vs polisi" ini, setidaknay 278 nyawa warga Haiti hilang secara tragis.
Belum lagi ribuan orang yang akhirnya memilih untuk meninggalkan tanah tercintanya demi menyelamatkan diri.
"Tingkat kekerasan (di Haiti) telah mencapai titik terburuk yang belum pernah terjadi sebelumnya hingga memicu masalah sekunder seperti gangguan fungsi sosial, pemisahan keluarga hingga hilangnay mata pencaharian," tulsi Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan dalam laporannya.
Rentetan masalah yang pada akhirnya kini menggiring Haiti pada kondisi yang jauh lebih kompleks.
Mereka harus menentukan pengganti Moïse, dalam kondisi negara yang karut-marut.
KOMENTAR