Gerak Cepat Sarwo Edhie Memberantas Gerombolan G30S 1965, Petunjuk Seorang Polisi Jadi Kunci

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Sarwo Edhie ingat betul adegan per adegan ketika dirinya memimpin pasukan memberantas geromboka Gerakan 30 September sekaligus menemukan jasad para Pahlawan Revolusi
Sarwo Edhie ingat betul adegan per adegan ketika dirinya memimpin pasukan memberantas geromboka Gerakan 30 September sekaligus menemukan jasad para Pahlawan Revolusi

[ARSIP HAI]

Sarwo Edhie ingat betul adegan per adegan ketika dirinya memimpin pasukan memberantas gerombolan Gerakan 30 September sekaligus menemukan jasad para Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya.

Penulis: Lili, terbit di Majalah Hai pada Oktober 1985

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Salah satu tokoh kunci selama pemberantasan gerombolan Gerakan 30 September 1965 adalah Sarwo Edhie Wibowo. Sarwo yang ketika itu menjabat Komandan RPKAD (sekarang Kopassus) mendapat tugas khusus dari Soeharto memadamkan kup sekaligus mencari jasad para Pahlawan Revolusi.

Ketika diwawancarai Majalah HAI pada Oktober 1985 lalu, Sarwo (meninggal November 1989) masih ingatadegan per adegan ketika ia memimpin pasukan memberantas Gerakan 30 September. Terutama peristiwa di hari 1 Oktober 1965. Kenangan ini oleh Sarwo Edhie diibaratkan sebagai suatu tonggak bersejarah, baik oleh dirinya maupun oleh bangsa dan negara.

Berpapasan dengan Soeharto di Cililitan

Ketika bergejolak Gerakan 30 September, Sarwo Edhie masih berpangkat Kolonel. Pangkat itu menurutnya sebagai jenjang pangkat yang terpendek. Karena setahun kemudian, dia menjadi Brigadir Jenderal.

Tengah malam, 1 Oktober 1965, Sarwo Edhie mendapat perintah untuk menyerbu Halim Perdana Kusuma. Perintah itu datang dari Soeharto, yang ketika itu menjabat sebagai Pangkostrad. Perintah itu diberikan di kantor KOSTRAD di mana waktu itu Nasution--selamat dari upaya pembunuhan G30S--juga hadir.

Dipilih waktu malam atau tepatnya menjelang dinihari menuju Halim adalah untuk menghindari jatuhnya korban. Pasukan ke Halim ini dipecah menjadi dua poros. Dari arah timur bergerak 5 tim RPKAD dengan 1 kompi panser. Sedangkan satu lagi dari arah Cawang bergerak batalyon Raider yang diperkuat 22 buah tank.

Kesemuanya ini di bawah komando Sarwo Edhie.

Sampai di daerah Halim, matahari hampir muncul, sehingga pelaksanaan penyerangan menjadi tergesa-gesa. Ada panser yang nyasar masuk ke Halim lebih dulu dan sebagainya.

Salah satu tujuan penyerangan ke Halim ini adalah untuk mencari para jenderal yang diculik. Namun setelah Halim berhasil diduduki, nasib para jenderal belum diketahui. Ketika itu Sarwo Edhie mendapat informasi bahwa Soehartodiminta menghadap Presiden Sukarno di Bogor.

"Karena tugas ke Halim adalah atas perintah Pak Harto, maka saya pun menyusul beliau ke Bogor. Dalam arti sebelum Pak Harto berjumpa dengan Bung Karno, akan saya laporkan perkembangan Halim kepada beliau. Namun ternyata di Istana Bogor saya tidak berhasil menjumpai Pak Harto, karena beliau belum datang," cerita Sarwo Edhi.

"Saya kembali ke Halim dan kemudian melanjutkan perjalanan ke KOSTRAD. Pada saat itu KOSTRAD sudah kosong dan sudah pindah ke Senayan. Ternyata Pak Harto sudah menuju Bogor melalui darat, sedangkan saya mempergunakan helikopter. Hal ini saya laporkan kepada Pak Nasution dan Pak Sarbini yang berada di KOSTRAD Senayan waktu itu."

Namun akhirnya Sarwo Edhie berhasil juga menjumpai Harto, meski dia harus mencegat rombongan Pak Harto di tengah jalan, ketika Soeharto pulang dari Bogor, tepatnya di daerah Cililitan, Jakarta Timur.

Jasa anggota Polisi

Menurut Sarwo Edhie, jasa amat besar dalam menemukan areal penculikan para jenderal sebenarnya berada dalam diri seorang polisi. Peristiwa itu terjadi setelah pasukannya berhasil menduduki Halim. Di rumahnya ada tamu seorang anggota intel Kostrad bernama Sukitman, anggota polisi berstatus 'agen'.

Polisi ini menceritakan bahwa ketika lewat di suatu tempat, dia ditahan oleh gerombolan G30S. Dia dianggap membahayakan. Ketika terjadi tembak menembak antara pasukan Sarwo Edhie dengan anggota raider yang berada di kubu G30S, Sukitman meloloskan diri.

Dari Sukitman inilah diketahui bahwa ada seorang pria ditutup matanya, digiring ke samping rumah, dan terdengar rentetan tembakan diiringi sorak sorai. Tempat terjadinya peristiwa ini di Lubang Buaya, dan diduga bahwa pria itu adalah salah seorang jenderal yang diculik oleh G30S.

Melalui keterangan dan petunjuk polisi ini, berangkatlah pasukan RPKAD menuju Lubang Buaya. Sampai di tujuan, ternyata jejak yang dicari mengabur. Areal pohon karet itu tanahnya sudah dipasirkan, sehingga sukar dilacak lubang yang diduga sebagai tempat penanaman mayat. Pekerjaan ini dilakukan pula bersama rakyat sekitar Lubang Buaya.

Pencarian berhasil, setelah seorang anggota RPKAD melakukannya dengan bayonet seperti mencari ranjau. Pada bagian tanah dirasakan keempukan, lalu pencarian dilakukan dengan tangan. Keadaan mencurigakan pada bagian tanah itu semakin dalam, manakala pada lapisan-lapisan penggalian ditemukan tali-tali berwarna kuning dan dedaunan yang masih berwarna hijau.

Pekerjaan yang dimulai dari sore hari itu dihentikan pada malam hari, manakala seorang penduduk yang ikut menggali jatuh pingsan melihat kaki manusia pada galiannya. Tempat sekitar pun menjadi ramai, segera Sarwo Edhie melaporkan kejadian itu pada Pak Harto.

Keesokan harinya Pak Harto langsung yang memimpin penggalian sumur di Lubang Buaya. Sedangkan Sarwo minta izin kepada atasannya itu untuk menghadiri sidang Kabinet di Bogor. Tanggal 5 Oktober bertepatan dengan HUT Angkatan Bersenjata R.I, suatu peringatan sekaligus duka menghantar kepergian pahlawan revolusi ke Kalibata.

Artikel Terkait