Intisari-Online.com - Isi Perjanjian Giyanti disepakati oleh Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi, juga pihak VOC, pada 13 Februari 1755.
Dicapainya perjanjian ini mengakhiri pemberontakan yang dilakukan Pangeran Mangkubumi sejak 1746.
Tahun itu, Pangeran Mangkubumi bergabung dengan kubu Raden Mas Said yang lebih dulu melakukan pemberontakan melawan Keraton Surakarta.
Pasalnya, ia merasa dikhianati setelah janji hadiah tanah seluas 3.000 hektar tidak ditepati oleh Pakubuwono II.
Hadiah itu harusnya diberikan kepada orang yang berhasil meredam pemberontakan Raden Mas Said.
Namun datang hasutan VOC yang menganggap hadiah tersebut terlalu berlebihan dan menyuruh Pakubuwono II untuk memberikan 1.000 hektar saja.
Pada 23 September 1754, tercipta nota kesepahaman antara Mangkubumi dan VOC yang menyatakan bahwa Mangkubumi mendapatkan setengah bagian dari wilayah Mataram.
Mangkubumi juga mendapatkan setengah pusaka Istana dan diperbolehkan memakai gelar Sultan. Sementara Pantai Utara Jawa (Pesisiran) diserahkan dan dikuasai VOC.
Tawar-menawar wilayah antara keduanya terjadi, dan setelah beberapa perundingan berjalan, nota kesepahaman tersebut pun tercipta.
Selanjutnya nota kesepahaman itu diterima oleh Pakubuwono III yang menggantikan Pakubbuwono II yang telah mangkat sebelumnya.
Dari situlah penandatanganan Perjanjian Giyanti dilakukan oleh kedua kubu di Desa Giyanti.
Perjanjian tersebut utamanya tentang pembagian wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram, dengan mengangkat Pangeran Mangkubumi sebagai penguasa separuh wilayahnya.
Baca Juga: 6 Bulan Sudah Satgas Nemangkawi Tumpas KKB Papua, Apa Hasilnya?
Pangeran Mangkubumi mendapatkan gelar Sultan Hamengkubuwono I dan berkuasa di wilayah yang sekarang merupakan Yogyakarta.
Sedangkan, Pakubuwono III harus bisa menerima kenyataan dalam perjanjian tersebut untuk berkuasa di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kartasura-Surakarta.
Sementara di antara pasal-pasal perjanjian ini, ada poin yang menguntungkan VOC dengan memberinya hak-hak tertentu.
Perjanjian Giyanti terdiri dari sembilan pasal dan satu penutup, serta ditandatangani pihak-pihak yang terlibat.
Adapun lokasi Perjanjian Giyanti yang berada di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, yang di masa kini menarik minat orang-orang untuk mengunjunginya.
Melansir Tribunsolo (15/6/2020), di sana berdiri juga sebuah masjid yang dikelilingi oleh area persawahan dan lapangan rerumputan yang selalu terawat dengan nyaman.
Masyarakat sekitar menyebut lokasi tersebut dengan Perjanjian Giyanti.
Di tempat itu terdapat seorang juru kunci bernama Bahadi Siswanto.
Setiap tanggal 13 Februari, di lokasi Perjanjian Giyanti selalu diadakan acara kirab budaya guna memperingati perjanjian tersebut.
Bahadi menceritakan di atas tanah yang saat ini ditumbuhi dua pohon beringin tersebut dulunya terdapat sebuah pendopo.
Namun bangunan pendopo saat ini sudah tiada dikarenakan rusak lalu sempat ditumbuhi pula dengan pohon ipik hingga pohon tersebut mati dan digantikan oleh pohon beringin.
Saat TribunSolo berkunjung hanya tersisa dua buah batu sebagai bukti tempat perjanjian dan oleh masyarakat diletakkan bunga dan sesajen.
Selain itu, TribunSolo juga mengonfirmasi kepada sejarawan yang juga menjabat Ketua Komunitas Sejarah Solo Societeit, Dani Saptoni, tentang keberadaan bukti Perjanjian Linggarjati.
Bahwa peninggalan dari bukti Perjanjian Giyanti tersebut sebagian besar berada di Yogyakarta termasuk naskah perjanjian antara Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi.
Selain digunakan untuk wisata edukasi, Bahadi juga menjelaskan bahwa lokasi Perjanjian Giyanti digunakan pu;a sebagai tempat untuk bersemadi dan mencari wangsit.
Setelah isi Perjanjian Giyanti ditandatangani, kemudian menyusul perjanjian lainnya yang kembali memecah Mataram, yaitu Perjanjian Salatiga.
Baca Juga: Latar Belakang dan Isi Perjanjian Salatiga, Mataram Terpecah Lagi Lewat Perjanjian Ini
(*)