Intisari-online.com -Memasuki bulan Juni 2021 ini, Satuan Tugas (Satgas) Nemangkawi yang bertugas memberantas KKB Papua diberi masa operasi yang lebih panjang.
Mereka diberi masa operasi sampai 6 bulan ke depan.
"Rencananya diperpanjang enam bulan," ujar Asisten Operasional Kapolri Irjen (Pol) Imam Sugianto, dalam keterangannya, Jumat (28/5/2021) dikutip dari Tribun Medan.
Mengapa konflik KKB Papua belum selesai sampai saat ini?
Papua dihuni oleh sebagian besar penduduk Kristen Melanesia yang tinggal di Papua dan Papua Barat
Setelah Perjanjian New York 1962 dengan mediator Amerika Serikat, Indonesia menjadi pemilik provinsi Papua.
Papua hanya mengerti jika mereka akan diberi kemerdekaan oleh Belanda, sehingga masuknya Indonesia dianggap sebagai penjajahan.
Dengan itu mereka melaksanakan pemberontakan yang sangat sering terjadi.
Beberapa perjuangan bersenjata juga sering dilakukan sebagai aksi perlawanan.
Hal tersebut dipicu kebijakan Presiden Soekarno yang mengancam menyerbu wilayah yang saat itu diduduki Belanda.
Ia mengatakan akan menyerbu dengan Komando Mandala pimpinan Soeharto.
Tahun 1962 itu Soeharto dipromosikan memimpin komando gabungan angkatan darat, laut dan udara.
Pasukan gabungan tersebut secara khusus ditujukan melakukan serangan ke wilayah yang diduduki Belanda karena kemungkinan akan melepaskan diri dari Indonesia.
Perjanjian New York juga tidak berhasil, dengan warga Papua menganggap Indonesia menjajah, mereka akhirnya membentuk kekuatan militer guna melawan TNI yang unggulan di Papua.
Gerakan-gerakan tersebut berbasis kesukuan, tapi kebanyakan bersatu menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang melancarkan kampanye militer skala rendah terhadap Indonesia.
OPM sendiri tidak bersatu, tanpa senjata dan tidak didukung di kancah internasional.
Kemudian ada Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang beroperasi di beberapa wilayah Papua.
Mereka ini menempuh jalur politik dan diplomatik.
Pemimpin Papua sudah mencoba bernegosiasi dengan pemimpin Indonesia.
Lebih-lebih di era Soeharto, mereka mendapatkan konsesi dari Jakarta, sedangkan diaspora Papua aktif di sejumlah negara Barat dan Pasifik Selatan.
Dukungan internasional dari organisasi HAM dan beberapa pemerintah mereka gunakan untuk menekan Indonesia.
Warga Papua mengeluhkan beberapa hal atas bersatunya dengan Indonesia karena beberapa hal ini
Tidak diajak dalam Perjanjian New York
Warga Papua merasa mereka tidak diajak berkonsultasi ketika Perjanjian New York 1962 ditandatangani.
Selanjutnya mereka menganggap referendum 1969 adalah kebohongan publik, pasalnya 1000 lebih pemimpin suku dipilih oleh militer Indonesia mewakili pemungutan suara dari 800 ribu warga.
Pemilihan dilaksanakan dengan sederhana, para perwakilan mengacungkan tangan saja, dan bagi warga Papua hal itu rekaan yang dibuat TNI saja.
Setahun ketika TNI diturunkan ke Papua, Indonesia dituduh melakukan pelanggaran HAM berat karena pembunuhan massal penduduk desa pendukung separatis.
Termasuk juga pembunuhan pemimpin kunci Papua contohnya Ferry Awom, Arnold Ap dan Theys Eluay.
Angka kemiskinan yang tinggi
Warga Papua masih menjadi kelompok masyarakat termiskin di Indonesia meski rumah mereka begitu kaya raya.
Tambang emas dan tembaga justru dikeruk oleh perusahaan asing yang diizinkan oleh Soeharto.
Eksploitasi lahan juga menyakitkan bagi warga Papua, yang menganggap hutan sebagai tanah sakral.
Transmigrasi
Kebijakan Indonesia untuk meratakan penduduk atau transmigrasi menjadi masalah lain bagi Papua, karena warga pendatang terutama warga Jawa beragama Islam membanjiri wilayah tersebut dan menguasai kantor-kantor administratif dan politik.
Akhirnya orang Papua memandang segala kebijakan Indonesia sebagai penjajahan, penduduk asli mengalami diskriminasi ras dan agama, terpinggirkan dan terlupakan.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini