Masyarakat Internasional Enggan Dukung Kemerdekaan Papua karena Kongkalikong dengan Indonesia yang 'Sudah Biasa' Beri Insentif ke Freeport?

Muflika Nur Fuaddah

Penulis

Ilustrasi KKB Papua dan Soeharto

Intisari-Online.com -Masa operasi Satuan Tugas (Satgas) Nemangkawi di Papua akan diperpanjang selama enam bulan.

Perpanjangan ini mulai berlaku pada 1 Juni 2021.

Personel TNI-Polri yang tergabung dalam satgas tersebut masih terus memburu kelompok kriminal bersenjata (KKB Papua).

Papua telah mengalami gejolak terus-menerus selama lebih dari 50 tahun, terutama setelah dimasukkan ke Indonesia pada tahun 1969.

Baca Juga: Indonesia Pasca-Soeharto Sudah Memberi Otonomi Lebih Besar pada Orang Papua, Mengapa Konflik Masih Berkepanjangan hingga 50 Tahun Lebih?

Dimuat pada lamanThe Diplomat, Bilveer Singhs, Professor Ilmu Politik di Universitas Nasional Singapura, menyebut salah satu alasan mengapa kemerdekaan Papua mendapat sedikit dukungan, karena masyarakat internasional lebih memilih untuk berurusan dengan Indonesia daripada Papua merdeka.

Jakarta sudah biasa memberi insentif kepada perusahaan multinasional internasional seperti Freeport-McMoran dan British Petroleum untuk mengeksploitasi wilayah yang kaya sumber daya.

Hilangnya otoritas Indonesia atas Papua akan berdampak negatif terhadap investasi perusahaan-perusahaan besar dari Barat ini.

Mengapa Freeport Dikelola oleh Amerika Serikat

Baca Juga: Benar-benar Tak Punya Hati, Setelah Bakar Bandara, KKB Papua Tembaki Aparat Keamanan, Pasukan Gabungan TNI-PolriTerpaksa Gunakan Trik Ini, 'Kami Tidak Mundur'

Tahun 1967 adalah periode penting bagi keberadaan Freeport di Indonesia.

Tepatnya pada 7 April atau belum genap dua bulan setelah resmi menjadi presiden kedua Indonesia, Soeharto memberikan izin kepada Freeport Sulphur of Delaware untuk menambang di Papua.

Dilansir dariKontan, selama masa pemerintahan Orde Lama, Presiden Soekarno sama sekali belum pernah mengizinkan investasi perusahaan asing di Indonesia.

Dengan kata lain, Freeport adalah perusahaan penanaman modal asing ( PMA) pertama di Tanah Air.

Baca Juga: Aksi KKB Papua Memakan Korban Lagi, Tewaskan Seorang Tukang Bangunan, 2 Rekannya yang Terbirit-birit Masih Dihujani Tembakan

Saat Orde Baru masih berumur jagung, ekonomi Indonesia terbilang masih karut-marut.

Meletusnya peristiwa G30S dan huru-hara di sejumlah daerah pasca-peralihan kekuasaan membuat situasi ekonomi tidak stabil.

Salah satunya adalah inflasi yang mencapai 600-700 persen yang ditandai dengan meroketnya harga kebutuhan pangan.

Otomatis, pembangunan infrastruktur terhenti saat itu.

Baca Juga: Pantas Saja Indonesia Sulit Gunakan Kekuatan Penuh untuk Berantas KKB Papua, Ternyata Inilah Risiko Jika Indonesia Gempur KKB dengan Militer Penuh

Presiden Soeharto bergerak cepat melakukan stabilisasi ekonomi, termasuk membuka keran investasi bagi Freeport.

Penandatanganan kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat tersebut dilakukan di Departemen Pertambangan Indonesia.

Ketika itu, Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri Pertambangan Ir. Slamet Bratanata dan Freeport oleh Robert C. Hills (Presiden Freeport Shulpur) dan Forbes K. Wilson (Presiden Freeport Indonesia), anak perusahan Freeport Sulphur.

Penandatanganan KK disaksikan pula oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshall Green.

Baca Juga: Tak Heran KKB Punya Senjata Militer AS hingga Senapan Canggih Dari Austria, Ternyata Begini Cara KKB Mendapat Senjata Selundupan Dari Luar Negeri

Freeport mendapat hak konsensi lahan penambangan seluas 10.908 hektar untuk kontrak selama 30 tahun terhitung sejak kegiatan komersial pertama dilakukan.

Soeharto Resmikan Operasional Freeport

Namun meski sudah mendapatkan izin dari pemerintah Indonesia di tahun 1967, Freeport baru bisa benar-benar menambang emas dan tembaga di Papua pada tahun 1973.

Penambangan Ertsberg dimulai Freeport pada Maret 1973.

Baca Juga: Lambungkan Nama Prabowo, Inilah Operasi Mapenduma, Kala Kopassus Harus Gunakan 3 Pendekar Sakti Banten demi Tangkal Ilmu Gaib KKB Papua

Pada Desember 1973 pengapalan 10.000 ton tembaga pertama kali dilakukan dengan tujuan Jepang.

Saat itu, Presiden Soeharto bahkan terbang langsung ke Papua untuk meresmikan fasilitas produksi di Tembagapura.

Dalam pidatonya, Soeharto begitu tampak sumringah dengan keberhasilan pertambangan di Freeport.

Menurut Soeharto, investasi Freeport di Indonesia adalah bukti kepercayaan investor menanamkan uangnya di Indonesia.

Praktis setelah masuknya Freeport, arus investasi asing begitu deras masuk ke Indonesia, terbesar berasal dari AS dan Jepang.

Freeport diberikan izin menambah selama jangka waktu 30 tahun dalam skema Kontrak Karya (KK) yang bisa diperpanjang.

Di awal kehadirannya, Freeport juga sempat berkonflik dengan penduduk setempat, terutama Suku Amungme.

Baca Juga: 1.000 Pemimpin Suku Papua Setujui Referendum 1969 yang Dianggap sebagai Kebohongan, Ada Peran Letjen Ali Moertopo?

Dalam kontrak karya pertama disepakati, royalti untuk pemerintah Indonesia dari penambangan tembaga yang dilakukan Freeport sebesar 1,5 persen dari harga jual (jika harga tembaga kurang dari 0.9 dollar AS/pound) sampai 3,5 persen dari harga jual (jika harga 1.1 dollar AS/pound).

Sedangkan untuk emas dan perak ditetapkan sebesar 1 persen dari harga jual.

Jelang Kontrak Karya berakhir, Freeport menemukan cadangan Grasberg atau tepatnya pada periode tahun 1980-1989.

Lalu pada tahun 1991, pemerintah Indonesia kemudian mengizinkan Freeport terus menambang di Papua untuk jangka waktu 30 tahun ke depan atau hingga tahun 2021 dengan hak perpanjangan sampai dengan 2 kali 10 tahun.

Di Papua, Freeport tak hanya menambang tembaga, namun juga menambang emas dan perak.

Baca Juga: Bak Tak Ada Matinya, Lekagak Telenggen Pimpinan KKB Tantang Perang Kapolda Papua, 'Kalau Dia Turun, Saya dengan Pangdam Jemput'

Grasberg bahkan disebut-sebut sebagai tambang emas terbesar di dunia.

Meskipun di Indonesia pasca-Soeharto, orang Papua telah diberikan otonomi yang lebih besar, ketidakstabilan dan konflik terus berlanjut.

Pencarian kemerdekaan orang Papua telah menjadi titik kunci konflik antara Papua dan pihak berwenang Indonesia.

KKBPapua juga telah mendorong pihak ketiga eksternal untuk menengahi konflik.

Ini adalah sesuatu yang ditolak mentah-mentah oleh Indonesia.

(*)

Artikel Terkait