Penulis
Intisari-Online.com -Sekitar April lalu, Ketua MPR Bambang Soesatyo meminta TNI, Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN) menurunkan kekuatan penuh untuk melakukan tindakan tegas terukur terhadap kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua.
Hal tersebut ia ungkapkan untuk menanggapi gugurnya Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua Mayjen Anumerta TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha yang tertembak KKB, Minggu (25/4/2021).
Menurutnya, tidak boleh ada lagi toleransi terhadap KKB untuk melakukan aksi kejahatan yang meresahkan masyarakat serta mengakibatkan korban jiwa.
"Saya meminta pemerintah dan aparat keamanan tidak ragu dan segera turunkan kekuatan penuh menumpas KKB di Papua yang kembali merenggut nyawa," kata Bambang dalam keterangannya, Senin (26/4/2021).
"Tumpas habis dulu. Urusan HAM kita bicarakan kemudian. Kalau perlu turunkan kekuatan 4 Matra terbaik yang kita miliki selain Brimob Polri. Gultor Kopassus, Raiders, Bravo dan Denjaka. Kasih waktu satu bulan untuk menumpas mereka," sambungnya, seperti mengutip Kompas.com.
Bambang melanjutkan, tindakan KKB di Kabupaten Puncak Papua dalam beberapa waktu terakhir sudah sangat meresahkan.
Meski demikian, hingga saat ini Indonesia belum menggunakan kekuatan penuh untuk menumpas KKB Papua.
Rupanya, menggunakan kekuatan penuh dalam memberantas KKB Papua pun memiliki risiko yang besar.
Hal ini sempat diungkapkanDirektur Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy pada BBC Indonesia pada 20 November 2017 lalu.
Mengomentari isolasi sekitar 1.300 warga di Mimika tahun 2017,Yan mengatakan Penyelesaian konflik di Papua oleh pemerintah Indonesia sebaiknya dilakukan dengan pendekatan dialogis, ketimbang harus mengangkat senjata.
Ia menekankan pentingnya pendekatan dialogis untuk menghentikan konflik Papua yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.
Termasuk yang terjadi saat ini, aksi kelompok yang oleh pemerintah Indonesia dikatakan sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang mengisolasi dua desa di Timika, Papua, 'harus diselesaikan dengan jalan dialog'.
"Kalau angkat senjata, tidak akan menyelesaikan masalah. Kalau penyelesainnya seperti ini, besok akan terjadi lagi. Tidak menutup kemungkinan nanti di awal tahun, atau menjelang Natal, itu akan terjadi lagi, kalau angkat senjata. Tapi kalau lewat dialog pasti ada kemungkinan untuk selesai," ujar Yan kepada BBC Indonesia, Minggu (19/11/2017).
Pada tahun 2017, terjadi aksi pengisolasian sekitar 1.300 warga di Mimika setelah tiga pekan sebelumnya seorang anggota Brimob tewas ditembak oleh kelompok bersenjata di Timika. Dia tewas saat terlibat pengejaran kelompok tersebut.
Baru pada Jumat (16/11/2017), aparat berhasil mengevakuasi sebagian warga. Hingga hari Minggu (19/11) total sekira 500 orang, yang merupakan warga pendatang, berhasil dievakuasi.
Sementara sisanya memilih untuk tinggal.
Minimnya warga masyarakat lokal yang ingin dievakuasi ke Mimika karena ia lahir dan besar di kampung tersebut, bahkan mereka tidak memiliki keluarga di Mimika.
Lebih jauh Yan beranggapan bahwa dari insiden isolasi warga di Banti, Utikini dan Kimberly ini terlihat opini yang dibangun oleh aparat keamanan 'sangat bersifat sepihak lantaran tidak bisa diverifikasi pihak lain'.
Bahkan, para jurnalis, baik lokal, nasional dan internasional, tidak diberi akses untuk mendapatkan informasi dari mulut pertama tentang sesungguhnya yang terjadi di sana sehingga bisa memberikan informasi yang berimbang.
Informasi yang beredar, sebanyak 1.300 warga disandera oleh kelompok bersenjata. Padahal warga yang disebut 'disandera' adalah warga penduduk desa dan pendatang yang bekerja sebagai pendulang emas di kampung itu.
"Kita punya informasi juga dari pihak gereja dan pemuka masyarakat di sana bahwa mereka aman sebenarnya. Kalau ada penyanderaan, minimal ada ancaman dari pihak penyandera. Klaim penyanderaan ini kan hanya ada dari pihak pemerintah, dalam hal ini TNI dan Polri, tidak ada dari pihak yang dituduh sebagai 'penyandera'," kata dia.
Yang terjadi kemudian, kata Yan, tiba-tiba ada operasi militer dan operasi pembebasan. Hal ini menimbulkan pertanyaan bahwa konflik di Papua masih jauh dari 'rampung'.
Maka dari itu, ia menilai pendekatan untuk menyelesaikan persoalan di sana 'tidak ada lain yang lebih baik selain mengedepankan dialog'.
"Konflik ini memang penyelesaiannya tidak bisa tidak, pendekatan dialog harus dikedepankan dan Presiden sampai hari ini kan kita tidak pernah mendengar dengan nyata presiden mengatakan apa pemerintah terhadap apa yang terjadi dengan tuntutan mereka yang ada di Tembagapura yang sekarang sedang bergejolak ini."