Find Us On Social Media :

Indonesia Pasca-Soeharto Sudah Memberi Otonomi Lebih Besar pada Orang Papua, Mengapa Konflik Masih Berkepanjangan hingga 50 Tahun Lebih?

By Muflika Nur Fuaddah, Jumat, 4 Juni 2021 | 14:25 WIB

Ilustrasi KKB Papua

Intisari-Online.com - Masa operasi Satuan Tugas (Satgas) Nemangkawi di Papua akan diperpanjang selama enam bulan.

Perpanjangan ini mulai berlaku pada 1 Juni 2021.

Personel TNI-Polri yang tergabung dalam satgas tersebut masih terus memburu kelompok kriminal bersenjata (KKB Papua).

Papua telah mengalami gejolak terus-menerus selama lebih dari 50 tahun, terutama setelah dimasukkan ke Indonesia pada tahun 1969.

Meskipun di Indonesia pasca-Soeharto, orang Papua telah diberikan otonomi yang lebih besar, ketidakstabilan dan konflik terus berlanjut.

Struktur politik dan budaya berbasis Papua telah tumbuh sejak akhir 1990-an — seperti Dewan Presidium Papua (Dewan Presidium Papua), Dewan Adat Papua (Dewan Tokoh Adat), Majelis Rakyat Papua (Dewan Rakyat Papua) dan ELSHAM, (Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia).

Tapi ini semua tidak berfungsi.

Baca Juga: Lambungkan Nama Prabowo, Inilah Operasi Mapenduma, Kala Kopassus Harus Gunakan 3 Pendekar Sakti Banten demi Tangkal Ilmu Gaib KKB Papua

Dimuat pada laman The Diplomat, Bilveer Singhs, Professor Ilmu Politik di Universitas Nasional Singapura, menyebut hal ini terjadi karena perpecahan internal di antara orang Papua sendiri dan keengganan Jakarta untuk memberikan konsesi yang lebih besar untuk menentukan nasibnya sendiri.

Otsus yang banyak digembar- gemborkan dan kegagalan berbagai reformasi konsesi, terutama reformasi kelembagaan, pada prinsipnya bertanggung jawab atas munculnya perlawanan dengan kekerasan dan tanpa kekerasan dari pemerintahan Indonesia di Papua.

Meskipun terdapat gerakan sipil yang relatif luas, didukung oleh jaringan kelompok gerilya yang sangat terdesentralisasi, mereka agak terpecah-pecah.

Mereka juga buruk dalam persenjataan yang diorganisir di bawah jaringan OPM dan TPNPB.

Baca Juga: 1.000 Pemimpin Suku Papua Setujui Referendum 1969 yang Dianggap sebagai Kebohongan, Ada Peran Letjen Ali Moertopo?