Khomeini berkhotbah kepada penduduk Syiah yang berbatasan dengan Iran guna melanjutkan revolusi Islam, sedangkan iran berusaha mengacaukan negara-negara tetangga guna mencari hegemoni regional meskipun negara tetangga mencari pedamaian.
Politik Ayatollah membuat hubungan dengan presiden Irak Saddam Hussein, seorang Islam Sunni yang mengedepankan nasionalisme Arab sekuler, memburuk.
Keduanya segera melihat kemungkinan perang akibat revolusi Iran, dan provinsi Khuzestan milik Iran diperebutkan karena memiliki ladang minyak besar dan merupakan kawasan mayoritas penduduk Arab.
Perdana Menteri pertama yang ditunjuk oleh pemerintah revolusi adalah Mehdi Bazargan, ia meminta tolong kepada AS untuk bantuan senjata militer guna mengamankan posisinya, tapi pemerintahan Presiden Carter memutuskan tidak ingin terlibat dalam hubungan dalam negeri Iran.
Baca Juga: Benar-Benar Gila: Rencana Tak Terduga Pilot Iran Untuk Menghancurkan Jet Irak Selama Perang
Pada musim gugur 1979, faksi moderat Perdana Menteri Bazargan mulai kehilangan upaya dalam negeri melawan faksi ekstrimis yang semakin menguat di pemerintah revolusi.
Pada 4 November 1979, oknum faksi ekstrimis mengepung kedutaan AS di Iran dan menyekap beberapa pegawai kedutaan AS, hal ini membuat pemerintah AS menerapkan embargo senjata ke Iran.
Meminta tolong Israel
Segera karena tidak dapat mendapat bantuan militer dari pemerintahan Carter, Iran mencari bantuan militer lewat pemerintahan Israel dan menawar perjanjian senjata antara dua negara.
Penulis | : | Maymunah Nasution |
Editor | : | Maymunah Nasution |
KOMENTAR