Intisari-online.com - Berbicara dalam konferensi pers bersama dengan menteri luar negeri Denmark, di Kopenhagen.
Menteri Luar Negeri Amerika, Antony Blinken menyerukan genjatan senjata untuk Israel dan Palestina.
Dalam pernyataannya, presiden Joe Biden berupaya mengakhiri kekerasan Israel dan Palestina.
Melansir Washington Post, Selasa (18/5/21), Blinken mengatakan, "kami bekerja sepanjang waktu melalui saluran diplomatik untuk memulihkan perdamaian di wilayah itu."
"Kami siap membantu jika para pihak menginginkan genjatan senjata," kata Blinken.
Baik Israel maupun Hamas, secara terbuka menyatakan minatnya untuk melakukan genjatan senjata.
Namun, menurut BBC, pada Senin (17/5), Hamas telah mendekati Israel untuk menawarkan genjatan senjata namun ditolak.
Bahkan, dalam pidato yang disiarkan televisi pada Minggu (16/5) perdana menteri Israel Benjamin Nethanyahu mengatakan kampanye militer Israel terus berlanjut, dengan kekuatan penuh.
Dia juga mengatakan, Hamas harus membayar mahal atas apa yang mereka lakukan pada Israel.
Selama tiga sesi terakhir Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Amerika Serikat berulang kali keberatan dengan adopsi resolusi bersama tentang situasi Israel-Palestina.
Penolakan Amerika Serikat untuk mendukung pernyataan Dewan Keamanan mendapat pujian dari Tel Aviv, dengan Kementerian Pertahanan Israel Benny Gantz.
Gantz mengungkapkan "terima kasih yang tulus kepada pemerintah AS" karena "mencegah pernyataan yang tidak adil dari Dewan Keamanan".
"Kritik yang ditujukan kepada Israel adalah munafik dan merugikan perang global melawan terorisme," tambah Gantz, dengan alasan bahwa tujuan Israel hanya untuk menghancurkan infrastruktur kontraterorisme dan melindungi orang-orang yang tidak bersalah.
Meskipun berulang kali mengklaim ingin meredakan ketegangan di Jalur Gaza, menurut Washington Post, pemerintahan Biden mendorong penjualan senjata besar-besaran ke Israel.
Dengan kata lain, ungkapan Blinken tersebut kemungkinan hanya omong kosong belaka untuk mendingingan suasana saat ini.
Secara khusus, pada 5 Mei, seminggu sebelum pecahnya pertempuran Hamas-Israel, pemerintahan Biden dikatakan telah secara resmi memberi tahu Kongres tentang rencananya untuk menjual senjata senilai 735 juta dollar AS (Rp10,5 triliun) ke negara Yahudi AS.
Kongres memiliki waktu 20 hari untuk menentang rencana tersebut. Sebagian besar batch senjata merupakan gabungan bom serangan frontal (JDAM).
Sejak masa Presiden Barack Obama hingga sekarang, setiap tahun bantuan militer AS ke Israel sekitar 3,8 miliar dolar AS.
Meskipun dukungan AS untuk Israel tetap tidak berubah melalui Presiden baru-baru ini, ada pertentangan yang berkembang dari Demokrat tentang kesediaan Washington untuk mendanai operasi militer Tel Aviv.
Perwakilan Mark Pocan (Demokrat) bersama dengan lebih dari dua lusin anggota parlemen lainnya meminta Menteri Luar Negeri Blinken untuk mengutuk pembangunan permukiman Israel dan deportasi paksa di tanah yang diklaim oleh Palestina.
Pocan juga menyatakan minggu lalu bahwa bantuan AS tidak boleh digunakan untuk membiayai operasi militer Israel.
Baca Juga: Inilah Alasan Mengapa Masjid Al Aqsa Begitu Penting, yang Jadi Rebutan Israel dan Palestina
Pandangan Pocan didukung oleh sejumlah tokoh di sayap progresif Partai Demokrat.
Tetapi para pemimpin Demokrat dan Republik di DPR dan Senat tetap setia pro-Israel.
JoeBiden sendiri selama kampanye juga menjanjikan "komitmen yang tak terpatahkan untuk keamanan Israel".