Advertorial
Intisari-Online.com - Ketegangan antara Israel dan Palestina akhirnya pecah menjadi bentrokan berdarah yang sangat mengerikan di kompleks Masjid Al-Aqsa.
Setelah hampir 4 tahun berlalu, kedua belah pihak akhirnya kembali terlibat bentrokan terparah sejak 2017.
Bentrokan kali ini, seperti halnya bentrokan-bentrokan lain yang sudah terjadi lebih dari setengah abad, dipicu oleh upaya Israel untuk terus memperluas pemukiman Yahudi.
Pemukiman-pemukiman tersebut dibangun dengan cara yang dikecam oleh berbagai negara di penjuru dunia: merampas tanah dan rumah milik warga Palestina.
Ya, hampir seluruh dunia mengutuk aksi pendudukan yang dilakukan oleh Israel atas properti-properti milik rakyat Palestina.
Namun, semua kecaman tersebut pada akhirnya dianggap hanya angin lalu setelah Donald Trump mengizinkan aksi Israel kala dirinya menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat.
Pengakuan AS ini pada akhirnya membuat Israel merasa undang-undang yang dibuatnya setengah abad silam pantas ditegakkan.
Sebuah undang-undang yang dianggap sebagai salah satu peraturan paling rasis sepanjang kehidupan manusia pasca-Perang Dunia II.
Ya, bangsa Yahudi, khususnya yang berada di Israel, seolah merupakan nasib malang mereka ketika menjadi aksi brutal dengan dalih rasial.
Holocaust yang diklaim telah membinasakan hingga lebih dari 17 juta jiwa bangsa Yahudi, tak membuat mereka sadar pentingnya untuk bersikap penuh toleransi.
Sebuah laporan terbaru Human Rights Watch (HRW) pada akhir April 2021 bahkan secara terang-terangan menyebut Israel telah melakukan kejahatan Apartheid terhadap warga Palestina.
Tentu saja pernyataan itu bukan sekadar pendapat, melainkan hasil dari sebuah kajian atas kebijakan pemerintah Israel terhadap warga Palestina.
Demi mempertahankan dominasi mereka di wilayah tersebut, mereka kerap melakukan pelanggaran berat di wilayah pendudukan, termasuk di Yerusalem Timur.
Semua temuan dan kesimpulan HRW termuat dalam laporan setebal 213 halaman berjudul “Batas yang Dilampaui: Otoritas Israel dan Kejahatan Apartheid serta Persekusi”.
“Berbagai suara pihak terkemuka selama bertahun-tahun telah mengingatkan bahwa apartheid akan mengintai di sudut jika lintasan penguasaan Israel atas warga Palestina tidak berubah,” kata Kenneth Roth, Direktur Eksekutif HRW, seperti dikutip dari kompas.com.
"Studi mendetail ini menunjukkan bahwa otoritas Israel telah berbelok ke sudut itu dan hari ini sedang melakukan kejahatan kejahatan terhadap kemanusiaan serta persekusi,” lanjut Roth.
Sayangnya, temuan dari HRW ini pada kenyataannya tidak bisa mengubah status hukum wilayah pendudukan, yang terdiri atas Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dan Gaza, atau realitas dari pendudukan Israel.
Padahal, faktanya Israel telah menerapkan hukum apartheid terhadap warga Palestina lebih dari setengah abad silam.
Semuanya berawal pada 1970, kala Israel mengeluarkan Undang-undang tentang Urusan Hukum dan Administrasi.
Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa orang Yahudi yang kehilangan harta benda di Yerusalem Timur pada 1948 berhak untuk mengklaim kembali harta miliknya.
Namun, ironisnya, di saat yang bersamaan, warga Palestina justru tidak diizinkan untuk mengklaim kembali segala bentuk properti mereka yang hilang di Israel pada 1948.
Hal inilah yang pada akhirnya membuat Israel merasa berhak dan semena-mena untuk merampas properti milik warga Palestina.
Sebuah kebijakan yang tidak jarang melibatkan kekerasan yang tidak berimbang di mana Israel menggunakan militer beserta senjata-senjata canggihnya untuk menghadapi warga Palestina yang umumnya hanya dibekali tangan kosong.
Ya, Israel, khususnya bangsa Yahudi yang ada dalam pemerintahan mereka, nampaknya terlalu mudah kehilangan ingatan pedihnya sikap rasial terhadap bangsa lain.