Intisari-Online.com -Israel kembali melancarkan serangan brutal di komoleks Masjid Al Aqsa dan jalur Gaza hingga berujung pada jatuhnya korban jiwa dari warga sipil Palestina.
Kementerian kesehatan Gaza mengatakan kepada Al Jazeera pada hari Senin bahwa 20 orang, termasuk anak-anak, tewas dalam serangan itu. Sedikitnya 65 orang lainnya terluka.
Suasana di Yerusalem sudah mulai tegang sejak akhir pekan lalu karena keputusan aparat keamanan Israel untuk menutup akses ke Masjid Al-Aqsa.
Keputusan itu menyulut amarah warga Muslim Palestina yang hendak melaksanakan tarawih dan iktikaf di sepuluh malam terakhir Ramadan.
Selain itu, bentrokan juga dipicu keputusan Israel untuk menggusur wilayah pemukiman Muslim Palestina di Sheikh Jarrah, timur Yerusalem.
Padahal, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menegaskan bahwa wilayah itu adalah milik warga Palestina dan meminta Israel berhenti mengusiknya.
Kantor hak asasi manusia PBB (OHCHR), pada hari Jumat, meminta Israel untuk segera menghentikan semua penggusuran paksa, termasuk yang berada di lingkungan Sheikh Jarrah di Yerusalem Timur, serta melakukan pengendalian maksimum dalam penggunaan kekuatan sambil memastikan keselamatan dan keamanan di sana.
Melansir UN News (7/5/2021), juru bicara OHCHR Rupert Colville mengatakan bahwa penggusuran tersebut akan melanggar kewajiban Israel di bawah hukum internasional.
“Mengingat pemandangan yang mengganggu di Sheikh Jarrah selama beberapa hari terakhir, kami ingin menekankan bahwa Yerusalem Timur tetap menjadi bagian dari wilayah Palestina yang diduduki, di mana Hukum Humaniter Internasional berlaku. Kekuatan pendudukan harus menghormati dan tidak dapat menyita properti pribadi di wilayah pendudukan, dan harus menghormati, kecuali benar-benar dicegah, hukum yang berlaku di negara tersebut."
Dia melanjutkan dengan mencatat bahwa Israel tidak dapat memaksakan hukumnya sendiri di wilayah pendudukan, termasuk Yerusalem Timur, untuk mengusir warga Palestina dari rumah mereka.
Pada hari Kamis, Tor Wennesland, Koordinator Khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah, juga mendesak Israel untuk menghentikan pembongkaran dan penggusuran di lingkungan tersebut, sejalan dengan kewajibannya di bawah hukum humaniter internasional.
Juru bicara OHCHR juga mengatakan bahwa penggusuran paksa dapat melanggar hak atas perumahan yang layak dan privasi serta hak asasi manusia lainnya dari orang-orang yang digusur.
“Penggusuran paksa merupakan faktor kunci dalam menciptakan lingkungan yang memaksa yang dapat mengarah pada pemindahan paksa, yang dilarang oleh Konvensi Jenewa Keempat dan merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi.”
Colville juga meminta Israel untuk menghormati kebebasan berekspresi dan berkumpul, termasuk mereka yang memprotes penggusuran, dan untuk menahan diri secara maksimal dalam penggunaan kekuatan sambil memastikan keselamatan dan keamanan di Yerusalem Timur.
Selain persoalan penggusuran dari tempat tinggal yang menjadi milik mereka, kemarahan orang Palestina juga terjadi karena mereka sempat diejek oleh kelompok ekstremis Yahudi.
Ketegangan sudah lama terjadi di Yerussalem Timur dengan adanya koeksistensi antara Yahudi dengan Arab di wilayah itu.
Israel telah menduduki Yerussalem Timur sejak Perang Timur Tengah pada 1967 dan mengklaimnya sebagai ibu kota.
Di sisi lain, pihak internasional tidak mengakui hal itu.
Bentrokan pecah pada Kamis (22/4/2021) malam waktu setempat, bermula dari aksi kelompok ekstremis Yahudi, Lehava.
Ratusan orang dari kelompok ultra-nasionalis Israel ini berjalan menuju pintu Gerbang Damaskus Kota Tua Yerussalem, tempat warga Palestina banyak berkumpul.
Dalam aksinya, kerumunan Lehava itu meneriakkan: "Matilah orang Arab."
Dilansir BBC, kedua kelompok saling bentrok dengan melemparkan botol hingga batu.
Polisi Israel berusaha membubarkan massa dengan meledakkan granat kejut, gas air mata, dan meriam air.
Bulan Sabit Merah Palestina mengatakan sedikitnya 100 warga Palestina terluka, sementara polisi mengatakan 20 petugas terluka serta lebih dari 50 orang ditangkap dalam insiden ini.
Menurut laporan Al Jazeera, ada 105 orang Palestina yang terluka dan 20 dari mereka dirawat di rumah sakit.
Selain menerikkan 'Matilah orang Arab', warga Israel juga membawa spanduk bertuliskan 'Matilah Teroris'.
Warga Palestina yang mendengar aksi itu langsung berkumpul di area Gerbang Damaskus.
Ketegangan di Yerussalem Timur meningkat sejak awal Ramadhan pada 13 April lalu.
Warga Palestina bentrok dengan polisi karena membangun penghalang sehingga mereka tidak bisa berkumpul di luar Gerbang Damaskus untuk berbuka puasa.
Polisi mengatakan tindakan itu dimaksudkan untuk membantu arus pejalan kaki ke Kota Tua.
"Orang Palestina suka bersantai di daerah ini setelah salat Isya di Masjid Al-Aqsa, tetapi pendudukan (Israel) tidak menyukainya."
"Ini masalah kedaulatan," kata penduduk Yerusalem, Mohammad Abu al-Homus.
Nampak barikade logam menutup akses warga Palestina dan telah dipasang dalam beberapa pekan terakhir ini.
Di sisi lain, orang Yahudi geram dengan warga Palestina karena video TikTok yang menunjukkan mereka menyerang anggota komunitas ultra-Ortodoks.
Salah satunya video serangan terhadap dua anak laki-laki anggota ultra-Ortodoks di Yerussalem.
Video-video viral itu lah yang menjadi landasan kelompok Lehava memulai pertengkaran pada Kamis lalu.
Namun ada juga video viral orang Yahudi yang menyerang warga Palestina.
Salah satunya insiden seorang pemuda Yahudi meneriakkan slogan anti-Arab dan menyerang pengemudi Arab.
Kantor presiden Palestina mengutuk insiden itu dan mendesak komunitas internasional melindungi rakyat Palestina dari serangan pendudukan Israel.
"Yerusalem Timur adalah ibu kota abadi Palestina dan merupakan garis merah," kata kantor kepresidenan, Kamis (22/4/2021).