Tetap saja, Kawashima tak mau memihat dalam identitasnya sebagai putri China dan pahlawan Jepang.
Dalam salah satu pidatonya, Kawashima menjelaskan, “Sebagai komandan, saya telah berkali-kali mengalami hujan tembakan, dan memang saya menderita tiga luka peluru. Tetapi ketika saya memikirkannya, saya melihat itu, teman atau musuh, kita semua adalah saudara."
Pada 1940, sosok romantis putri Manchu yang menunggang kuda tidak ada lagi.
Militer Jepang benar-benar muak dengan Kawashima, yang terlalu kentara untuk dimanfaatkan sebagai mata-mata dan terlalu keras kepala untuk dipercaya untuk diam.
Sekarang karena kecanduan morfin dan opium dan menderita sifilis, Kawashima memeras uang dari warga negara China yang kaya sebelum dia ditempatkan di bawah tahanan rumah.
Pada tahun 1941, Kawashima kelelahan, kesepian, dan terombang-ambing. Dengan hanya ditemani monyet peliharaannya, dia kembali ke Beijing yang diduduki Jepang, di mana dia tinggal sampai akhir Perang Dunia Kedua.
Pada 10 Oktober 1945, pasukan Tiongkok merebut kembali Beijing dari Jepang.
Keesokan harinya, petugas polisi menangkap Yoshiko Kawashima, alias Jin Bihui, alias Permata Timur.
Dituduh melakukan pengkhianatan, Kawashima diberi label hanjian, atau "pengkhianat ras", dalam persidangan yang dipublikasikan secara luas.
Pada tanggal 25 Maret 1948, Yoshiko Kawashima dibawa ke halaman penjara yang tertutup es, dan ditembak sekali di bagian belakang kepala.
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR