Intisari-Online.com - Dalam sejarah Timor Leste, ia pernah mencicipi kemerdekaan seumur jagung sebelum benar-benar merdeka secara resmi dan diakui secara internasional.
Itu terjadi sebelum Indonesia datang menginvasi Timor Leste atau Timor Timur pada tahun 1975.
Deklarasi kemerdekaan Timor Leste atas pendudukan Portugal kala itu dilakukan di bawah kekuasaan partai Fretilin, pada 28 November 1975.
Kesempatan itu datang setelah Terjadi penarikan pasukan Portugal dari Timor Leste.
Ketika itu, Portugal tengah disibukkan dengan kekacauan Revolusi Anyelir. Revolusi ini sendiri mengarah pada janji untuk membebaskan koloni.
Dikutip Kompas.com, melansir dari laman The Center for Justice and Accountability, kekosongan kekuasaan setelah penarikan pasukan Portugal kemudian banyak diisi oleh partai pro kemerdekaan dari akar rumput, yaitu Fretilin (Front Revolusioner untuk Timor Leste Merdeka).
Mereka mengambil peran semi-pemerintah dalam waktu-waktu ini.
Meski sempat mendapat reaksi keras dari partai-partai lainnya yang memiliki misinya masing-masing, juga berakhir dengan invasi oleh pasukan Indonesia, bagaimanapun kemerdekaan sesaat itu merupakan bagian sejarah Timor Leste.
Kesempatan untuk mendeklarasikan kemerdekaan itu tak lepas dari Revolusi Anyelir yang terjadi di Portugal.
Revolusi Anyelir sendiri terkenal sebagai 'Revolusi Tak Berdarah'.
Peristiwa yang terjadi pada tanggal 25 April itu juga dengan cepat disebut "Revolusi Bunga", karena para prajurit yang menggulingkan rezim fasis tidak menumpahkan darah dan bunga anyelir dimasukkan ke dalam moncong senapan dan pada seragam tentara.
Melansir cafebabel.com, Ketika itu ada dua sinyal rahasia dalam kudeta.
Pertama ditayangkan (pada 10:55) di radio publik lagu "E Depois do Adeus" oleh Paulo de Carvalho, entri Portugal dalam Kontes Lagu Eurovision 6 April 1974, yang menyiagakan pemberontak kapten dan tentara untuk memulai kudeta.
Berikutnya, pada 25 April 1974 pukul 12:20 pagi, Rádio Renascença menyiarkan "Grândola, Vila Morena", sebuah lagu oleh Zeca Afonso, seorang penyanyi-penulis lagu rakyat dan politik berpengaruh yang diasingkan di Prancis pada saat itu.
Itu adalah sinyal yang diberikan oleh Gerakan Angkatan Bersenjata untuk mengambil alih titik-titik strategis kekuasaan di negara itu.
Juga untuk "mengumumkan" bahwa revolusi telah dimulai dan tidak ada yang dapat menghentikannya kecuali kemungkinan represi rezim.
Meskipun tentara telah menyerukan berulang di radio, memperingatkan penduduk untuk tetap di dalam rumah mereka, ribuan orang Portugis tetap terjun mengambil alih jalan, berbaur dengan pemberontak militer dan mendukung mereka.
Salah satu titik poin utama dari pertemuan itu adalah pasar bunga Lisbon, yang kemudian dipenuhi dengan anyelir, yang sedang musimnya.
Beberapa pemberontak militer akan meletakkan bunga-bunga itu di dalam tong senjata mereka, di mana gambarnya ditayangkan di televisi di seluruh dunia.
Meskipun tidak ada demonstrasi massal oleh masyarakat umum sebelum kudeta, keterlibatan sipil yang spontan mengubah kudeta militer menjadi sebuah peristiwa dengan partisipasi rakyat yang tidak terduga.
Diktator Marcello Caetano pun mengungsi di kantor polisi militer utama Lisbon di Largo do Carmo.
Gedung tersebut dikelilingi oleh MFA (angkatan bersenjata), yang menekannya untuk menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Spínola. Kediktatoran pun digulingkan.
Meski terkenal sebagai 'Revolusi Tak Berdarah', namun mengutip theculturetrip.com, banyak orang tidak mengetahui tentang tewasnya empat orang dalam peristiwa tersebut.
Disebut empat korban tewas pada tanggal 25 April 1974. Warga sipil ditembak oleh PIDE (Polisi Pertahanan Internasional dan Negara atau Polícia Internacional e de Defesa do Estado dalam bahasa Portugis), polisi rahasia Estado Novo (Negara Baru).
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini