Faktanya Memang Ditutup-Tutupi, Tetapi Dokumen Ini Bongkar Kejahatan Indonesia Gunakan 'Senjata Terlarang' Ini Saat Berniat Binasakan Timor Leste

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi -Senjata pemusnah Naplm.
Ilustrasi -Senjata pemusnah Naplm.

Ilustrasi -Senjata pemusnah Naplm.
Ilustrasi -Senjata pemusnah Naplm.

Intisari-online.com -Sejak Timor Leste memutuskan untuk melepaskan diri dari Indonesia, serangkain peristiwa besar terjadi.

Salah satunya adalah penyerangan secara langsung militer Indonesia ke Timor Leste.

Namun, dari serangan itu, banyak fakta ditutup-tutupi termasuk senjata yang digunakan oleh militer Indoesia.

Menurut sebuah dokumen rahasia milik Australia, yang diungkapkan tahun 2015 olehThe Sydney Morning Herald.

Associate Professor Clinton Fernandes dari Australia Defence Force Academy telah menemukan dokumen diplomatik Australia sebelumnya.

Baca Juga: Gunakan Nama Sandi Susi, Tuti, hingga Umi, Inilah Tim Nanggala, Tim Intelijen Tempur Kopassus yang Pernah Dikirim ke Timor Leste

Dokumen ini dirahasiakan yang mempertanyakan penolakan berulang Indonesia yang digunakan untuk membumihanguskan Timor Leste 29 tahun lalu.

Penemuan ini merupakan terobosan dalam penelitian jangka panjang Dr Fernandes untuk mengetahui sejauh mana pemerintah Australia mengetahui tindakan Indonesia.

Salah satunya terungkap dalam dokumen di National of Archives of Australia, tertanggal September 1983 dari Konsul Australia di Bali, Malcom Mann, kepada Dennis Richardson.

Kemudian konselor di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, melaporkan percakapan dengan Amerika Serikat, di Surabaya, Jay McNaughton.

Baca Juga: Sosok Penting dalam Sejarah Timor Leste, Inilah Xanana Gusmao, Memimpin Pasukan Gerilya hingga Ditangkap Tentara Indonesia

Orang Amerika itu mengatakan kepada Mann, bahwa dia telah melihat laporan intelijen bahwa orang Indonesia memasang tank napalm ke pesawat F5 mereka untuk digunakan di Indonesia.

Angkatan Udara Indonesia telah memperoleh dari Amerika Serikat selusin pesawat serang darat Northrop F-5 tiga tahun sebelumnya.

McNaughton menjelaskan bahwa Para ahli Amerika telah diminta untuk membantu pemasangan tangki napalm karena orang Indonesia mengalami kesulitan dalam memotong pesawat.

Richardson meminta Kedutaan Besar AS di Jakarta untuk mengkonfirmasi bahwa orang Indonesia telah mendekati Amerika Serikat untuk bantuan dalam pemasangan tangki napalm.

Kemudian diberitahu bahwa kontraktor AS telah dilibatkan karena tangki napalm dibuat di Italia dan modifikasi diperlukan agar sesuai dengan mereka ke F5s.

Ilustrasi -Senjata pemusnah Napalm.
Ilustrasi -Senjata pemusnah Napalm.

Pada awal November 1983 Richardson meneruskan sebuah laporan ke Departemen Luar Negeri di Canberra.

Dia menambahkan bahwa Amerika Serikat, mengingat peningkatan militer baru-baru ini di Timor Timur, pendekatan telah dibuat sehubungan dengan Timor Timur.

Menyusul protes internasional yang ditimbulkan oleh penggunaan napalm dalam Perang Vietnam.

Penggunaan senjata pembakar terhadap warga sipil secara efektif dilarang oleh konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1980.

Dengan melarang senjata konvensional yang "sangat melukai" atau memiliki "efek tidak pandang bulu".

Baca Juga: Kisah Milisi Fretilin Timor Leste, Ngotot Ingin Musnahkan Militer Indonesia Sampai Sisakan 7 Prajurit, Tetapi Keaadan Malah Berhasil di Balikkan Indonesia Meski Tersisa 7 Tentara

Namun Indonesia belum dan belum menandatangani konvensi tersebut.

File Departemen Luar Negeri yang diperiksa oleh Dr Fernandes menunjukkan bahwa Kedutaan Besar Australia di Jakarta tidak mengambil tindakan untuk memprotes penggunaan napalm di Indonesia.

Bahkan tidak ada reaksi di Canberra, di mana Pemerintah Perburuhan Perdana Menteri Bob Hawke sangat ingin meningkatkan hubungan dengan Indonesia dan negosiasi terbuka dengan Jakarta tentang sumber daya minyak dan gas di Laut Timor.

Pada tahun 2006, menyusul terbitnya tuduhan penggunaan napalm Indonesia terhadap warga sipil Timor dalam laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dokumen rahasia yang diterbitkan oleh Australia.
Dokumen rahasia yang diterbitkan oleh Australia.

Menteri Pertahanan Indonesia pada saat itu Juwono Sudarsono menyatakan bahwa serangan semacam itu "tidak pernah terjadi".

"Bagaimana bisa kita pakai napalm untuk melawan orang Timor? Dulu kita bahkan tidak punya kapasitas untuk mengimpor apalagi membuat napalm," kata Pak Sudarsono.

Namun, seorang saksi mata yang dikutip oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Lucas da Costa Xavier, mengenang kejadian di Timor Leste.

"Pepohonan dan rumput akan terbakar ketika bom menghantam merek. Banyak warga sipil meninggal karena meminum air yang terkontaminasi pecahan peluru dari bom yang dijatuhkan dari pesawat, dan banyak yang meninggal. luka bakar saat itu musim kemarau, jadi rumput mudah terbakar," katanya.

Dr Fernandes mengatakan dokumen departemen Luar Negeri penting karena itu adalah bukti kuat pertama napalm dari catatan resmi, dan bukan hanya kesaksian para penyintas.

"Dokumen-dokumen itu menunjukkan bahwa orang Timor-Leste dan sekelompok kecil aktivis internasional yang mendukung mereka mengatakan yang sebenarnya," kata Dr Fernandes.

Baca Juga: Sejarah Timor Leste Pernah Jadi Bagian Wilayah RI, Ini Jejak-jejak Indonesia di Bumi Lorosae

"Pemerintah Partai Buruh yang mulai menjabat pada tahun 1983 mengetahui bahwa militer Indonesia melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk membakar orang hidup-hidup dengan napalm, tetapi mereka tidak mengatakan dan tidak melakukan apa pun," katanya.

Dr Fernandes telah terlibat dalam pertarungan hukum yang berlarut-larut di Pengadilan Banding Administratif dan Pengadilan Federal untuk mengamankan deklasifikasi catatan intelijen dan diplomatik Australia terkait dengan pendudukan Indonesia di Timor Leste.

Pemerintah Australia mengklaim bahwa deklasifikasi dokumen tersebut akan mengungkap intelijen yang masih sensitif dan merusak hubungan Australia dengan Indonesia.

Banyak dari bukti pemerintah telah disembunyikan setelah dikeluarkannya sertifikat kepentingan umum oleh Jaksa Agung George Brandis.

Artikel Terkait