Intisari-online.com -Ketegangan di Laut China Selatan semakin memanas.
Sebelumnya pada Januari lalu, China tiba-tiba memperbolehkan pasukan coastguardnya untuk menembaki kapal asing yang memasuki wilayah mereka.
Tidak kalah, Amerika Serikat kian kuat memproklamasikan kebebasan navigasi mereka dengan mengirimkan bala bantuan pasukan sekutu mereka, NATO.
Hal ini dimulai dengan pasukan Angkatan Laut Inggris dengan kapal perang HMS Queen Elizabeth mulai sambangi Laut China Selatan itu.
Kemudian pasukan lain dari Perancis mulai dikirimkan bersama kapal selam berpelontar nuklir dan satu kapal perang.
Terbaru, kapal fregat Jerman rencananya akan sambangi perairan panas itu pada Agustus mendatang.
Ini juga dilengkapi dengan kunjungan lain dari pasukan Inggris.
Mengutip abs-cbn.com, Angkatan Laut AS sendiri mengirim kapal induk USS Theodore Roosevelt dan USS Nimitz Selasa lalu ditemani kapal perang lain termasuk kapal penjelajah berpeluru kendali USS Bunker Hill dan USS Princeton.
Tidak hanya itu, kapal penghancur USS Russell dan USS John Finn juga dikirimkan ke tempat tersebut.
Dikatakan operasi kapal-kapal itu di wilayah itu tunjukkan kemampuan angkatan laut untuk beroperasi di wilayah yang penuh tantangan.
Sementara itu menteri pertahanan Perancis Florence Parly mengatakan patroli Perancis adalah pencapaian bukti jika angkatan laut dapat menyusun strategi dengan rekannya untuk jangka waktu lama dan jauh dari rumah.
Direktur lembaga penelitian di Beijing South China Sea Strategic Situation Probing Initiative, Hu Bo, mengatakan aktivitas AS dan Perancis di perairan itu merupakan upaya menambah tekanan pada China.
"Setelah Presiden Joe Biden menjabat, sekutu AS lebih percaya diri jika AS akan memikul kewajiban internasionalnya dalam mengontrol dengan China," ujarnya.
Administrasi Biden mengatakan China akan menjadi pusat dari kebijakan luar negerinya, dan bahwa Washington akan bekerja dengan mitranya dalam strategi persaingan dengan Beijing.
Lebih terlibatnya NATO dalam masalah ini sebenarnya bukanlah hal baru.
September 2020, Inggris, Perancis, dan Jerman, semua anggota NATO, mengisukan pernyataan gabungan kepada PBB membantu tuntutan internasional 2016 melawan hampir semua klaim Beijing di Laut China Selatan.
Mereka menyebut klaim Beijing atas 'hak bersejarah' di perairan itu tidak sesuai dengan hukum internasional.
"Ini juga merupakan pembesaran dari NATO, dan mereka pasti akan meningkatkan tekanan militer ke China," ujar komentator militer Song Zhongping, mantan instruktur PLA.
"Namun beberapa sekutu AS harus datang ke wilayah ini karena nilai bersama seperti kebebasan navigasi dan kebebasan perairan internasional, hal-hal yang lebih besar daripada kepentingan internasionalnya, sehingga mereka tidak akan sepenuhnya berkonfrontasi dengan China."
Tekanan dari Jepang
Tidak hanya NATO, sekutu utama AS di Pasifik, Jepang, juga sudah mulai siapkan perlawanan untuk melawan China.
Jepang telah melarang penggunaan jet tempur melawan pesawat militer China, sehingga hanya pesawat yang benar-benar mengancam saja yang akan dibabat oleh Jepang.
Perubahan ini rupanya bukan karena tanpa alasan.
Menteri Pertahanan Jepang sedang mengubah strategi mobilisasi pesawat menjadi pengawasan proaktif, membebaskan sumber daya untuk berkonsentrasi pada pelatihan tingkat tinggi menggunakan pesawat tempur siluman F-35 terbaru, seperti disebutkan sumber tersebut.
Angkatan Udara Bela Diri Jepang saat ini sedang meningkatkan armadanya menjadi pesawat tempur siluman F-35, tapi mereka tidak digunakan untuk berebut.
Alih-alih berebut yang cenderung hanya pamer kemampuan, Jepang berniat meningkatkan efisiensi operasional dan mengurangi beban pilot.
Dengan ini juga bisa diraih pelatihan eksklusif anggota Angkatan Udara Bela Diri Jepang dengan jet tempur F-35.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini