Intisari-Online.com - Perjalanan hidup Soekarno terus bergulir setelah menikahi istri pertamanya, Siti Oetari Tjokroaminoto.
Soekarno pindah ke Bandung pada tahun 1921 setelah tinggal di sebuah kost di Tjokro, Surabaya selama bertahun-tahun.
Soekarno pindah ke Kota Kembang dan belajar di Technische Hooge School (THS), sekarang ITB, jurusan Teknik Arsitektur.
Soekarno dan Oetari tiba di Bandung sekitar seminggu sebelum pelajaran dimulai.
Atas permintaan Tjokro, pasangan yang baru menikah itu tinggal di rumah kost milik Sanusi dan istrinya, Inggit Garnasih.
Beda dunia
Dilansir dari buku Istri-istri Soekarno (Reni Nuryanti dkk/2007), Oetari tampak asing dengan kehidupan barunya di Bandung.
Oetari memang jarang bepergian, karena itu Tjokro secara khusus meminta Sanusi dan Inggit untuk menjaganya.
Di sisi lain, bahtera rumah tangganya dengan Soekarno tidak memperlihatkan kehangatan layaknya pasangan muda yang baru menikah.
Inggit Garnasih mampu melihat beda dunia di antara keduanya.
Aktivitas politik Soekarno yang semakin padat membuat perbedaan itu semakin tajam.
"Yang seorang ke kanan, yang seorang ke kiri. Yang seorang sibuk membaca, belajar tekun; yang seorang main simbang (permainan tradisional) atau main lompat-lompatan di halaman. Terlalu berjauhan dunia mereka, pikirku," tutur Inggit.
Karena menganggap Oetari sebagai anak-anak, Soekarno mengaku tidak pernah "menyentuh" Oetari selama menikah.
Faktor itu sepertinya menjadikan mahligai pernikahan mereka tidak berjalan harmonis.
Kecemburuan Oetari
Ada faktor lain yang membuat Soekarno tidak merasa bahagia menikah dengan Oetari, yaitu kehadiran Inggit Garnasih.
Soekarno sering melampiaskan kegelisahannya akan Oetari kepada Inggit.
Oetari dianggap seperti bayi yang tidak mengerti alur dan jalan pikiran Soekarno.
Selain itu, Soekarno juga tidak menemukan sosok keibuan pada Oetari, seperti Suharsikin bagi Tjokroaminoto.
Selama tinggal di rumah kost Tjokro, Soekarno mendambakan kehidupan pernikahannya seperti Tjokroaminoto-Suharsikin.
Hubungan anak kost dengan ibu kostnya itu pun semakin intensif.
Perbincangan keduanya kerap berlangsung hingga larut malam.
Bahkan keduanya disebut makin mesra saat Sanusi, suami Inggit, sudah tidur.
Kedekatan itulah yang membuat Oetari cemburu.
Kecemburuan itu juga yang menyebabkan Soekarno meminta pisah ranjang.
Kemudian pada akhir 1921, muncul kabar bahwa Tjokroaminoto ditangkap Belanda.
Soekarno pun pergi ke Surabaya untuk membantu meringankan beban mertuanya itu.
Sedangkan Oetari tetap tinggal di Bandung.
Di Surabaya, Soekarno berperan sebagai kepala keluarga menggantikan Tjokro yang dibui.
Dia bahkan menopang pendidikan dua adik Oetari, Anwar dan Harsono, yang sempat terhenti.
Soekarno menjadi guru di rumah, karena Anwar dan Harsono dikeluarkan sekolah akibat akibat aktivitas politik Tjokro.
Meski menjalankan perannya dengan baik sebagai kepala keluarga Tjokro, Soekarno menyimpan kegelisahan.
Pria bernama kecil Kusno itu tidak lagi merasakan kebahagiaan pernikahan dengan Oetari.
Kegelisahan itu makin terasa saat keduanya berjauhan.
Bercerai dengan Oetari
Setelah 7 bulan tinggal di Surabaya, Soekarno kembali ke Bandung pada Juli 1922.
Namun, kepulangan dan bertemu kembali dengan Oetari tidak membuat hubungan cintanya membaik.
Soekarno bahkan disebut sempat pulang ke Blitar untuk berkeluh kesah ke ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai.
Tidak hanya itu, bahkan Soekarno juga menceritakan tentang Inggit, perempuan Priangan yang diakuinya telah mengisi relung hati.
Soekarno seperti tidak melihat Inggit sebagai istri Sanusi, melainkan perempuan single.
Saat itulah Soekarno seperti berada di persimpangan, antara Oetari dan Inggit.
Sepulangnya ke Bandung, Soekarno pun berniat untuk memulangkan Oetari ke rumah orangtuanya di Surabaya.
Niat itu bahkan diceritakannya kepada Inggit.
Dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams, Soekarno mengaku bahwa Oetari bukan perempuan yang tepat untuknya.
"Ia bukan idamanku, oleh karena itu tidak ada tarikan lahir dan dalam kenyataan kami tak pernah saling mencintai," tutur Soekarno.
"Sebagai teman seperjuangan, orang yang demikian tidak sanggup menemaniku pada waktu tenagaku terpusat pada penyelamatan dunia ini, sementara ia main bola tangkap..." lanjutnya.
Hilang sudah sosok Lak, panggilan Oetari, yang dulu dicintai dan jadi "korban" rayuan maut Soekarno.
Setelah lama berunding dan meyakinkan Oetari, keputusan pun dibuat.
Soekarno menceraikan Siti Oetari Tjokroaminoto pada 1923.
Oetari menurut. Tidak ada penyangkalan atas keputusan Soekarno.
Dia pun pulang ke Surabaya.
Tidak lama setelah mencerai Oetari, Soekarno pulang dan menemui orangtuanya.
Dia membicarakan perceraian itu.
Namun, orangtuanya sulit menerima keputusan Soekarno itu.
Mereka malu kepada Tjokroaminoto.
Keputusan Soekarno itu pun dianggap lancang dan tidak menghormati Tjokro.
Namun, Soekarno beralasan perpisahan itu bukan sekedar tentang cinta semata.
Munculnya perbedaan garis politik dengan Tjokroaminoto, menjadi alasan Soekarno akan perceraian itu.
Tapi tidak dijelaskan perbedaan garis politik apa antara Tjokroaminoto dengan Soekarno yang menjadi alasan perceraian itu.
"Siapa yang menyangka setelah umur saya bertambah, datang suatu keyakinan bahwa antara saya dan mertua saya, Pak Tjokroaminoto, ada perbedaan paham tentang asas politik pergerakan."
"Keyakinan saya semakin teguh dan selekasnya bakal terwujud di dalam pergerakan yang berlainan asas politiknya (dengan Tjokroaminoto)," ucap Soekarno.
Perceraian tidak membuat Oetari memutuskan hubungan dengan Soekarno.
Saat Soekarno keluar dari penjara Sukamiskin, Bandung, pada 1931, Oetari menemuinya.
Oetari menyambut dibebaskannya Soekarno bersama suami, adik, dan ayahnya.
Saat menjadi presiden pertama RI pun, Soekarno tidak melupakan Oetari.
(*)