Bukannya Ogah, Dua desa di Jepang Ini Malah Rebutan Jadi Tempat Pembuangan 'Limbah Nuklir' yang Sangat Berbahaya Bagi Manusia, Apa Alasannya?

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi Limbah Nuklir di Fukushima.
Ilustrasi Limbah Nuklir di Fukushima.

Intisari-online.com - Sampah nuklir merupakan sesuatu yang membahayakan manusia.

Oleh sebab itu, bukan mustahil jika banyak yang menolak, ketika pemerintah menunjukkan untuk jadi tempat pembuangan sampah nuklir.

Meski dianggap berbahaya, dua desa di Jepang ini justru berebut untuk meminta desanya dijadikan tempat pembuangan limbah nuklir.

Menurut 24h.com.vn, pada Sabtu (6/2/21), dua desa itu berada di pulau Hokkaido, yang merupakan pulau terbesar kedua di Jepang.

Baca Juga: Kepulauan Senkaku Jepang Diserang Dua Kapal China, Sudah Serangan Keempat Kalinya dalam Seminggu Ini Usai Nelayan Jepang Ketakutan Sebelumnya

Menurut Gizmodo, melaporkan pada Jumat (5/2), dua desa di Hokkaido yang saling berebut itu adalah, Suttsu dan Kamoenai.

Dua desa nelayan yang berada di pulau Hokkaido ini malah bersaing untuk jadi tempat pembuangan limbah nuklir.

Mereka meminta daerahnya dijadikan tempat pembuangan limbah radioaktif, atau tempat pembuangan sampah radioaktif nuklir.

Menurut data statistik, Jepang telah menghasilkan limbah sebanyak 19.000 ton limbah nuklir, yang diyakini sangat beracun dan berbahaya bagi manusia.

Baca Juga: Meski Perpanjang Perjanjian Senjata Nuklir dengan Rusia, Biden Tetap Tegaskan ke Putin Era AS Tunduk ke Rusia Sudah Berakhir

Limbah itu adalah sisa energi nuklir yang digunakan Jepang sejak 1966.

Untuk menjauhkannya dari masyarakat, Jepang mengeluarkan Undang-undang Limbah Radioaktif Akhir tahun 2000.

Menyerukan koordinasi lokal untuk membangun penyimpanan bawah tanah untuk menampung limbah nuklir.

Saat itu, belum ada satu wilayah pun yang diterima sebagai tempat penyimpanan bahan beracun tersebut.

Kekhawatiran akan dampak berbahaya dari limbah nuklir semakin meningkat ketika terjadi kebocoran pada tahun 2011.

Saat itu, gempa bumi yang disertai tsunami menyebabkan ledakan di PLTN Fukushima Daiichi yang melepaskan polusi radioaktif dalam jumlah besar ke laut.

Ini adalah kecelakaan nuklir paling serius setelah bencana Chernobyl, Rusia.

Namun kini, dua desa nelayan Suttsu dan Kamoenai bersaing untuk memiliki kapasitas menjadi tempat penyimpanan limbah nuklir.

Apa yang membuat para pejabat di kedua desa ini memutuskan untuk melakukannya?

Baca Juga: Ramalan Jayabaya, 'Akurat' Memprediksi Penjajahan Belanda dan Jepang, Namun Picu Perdebatan Panjang tentang Jajaran Presiden Indonesia

Ternyata penyebabnya adalah, banyak desa nelayan kecil di Jepang sekarang sedang putus asa.

Perikanan, yang pernah menjadi industri yang berkembang pesat, menunjukkan tanda-tanda penurunan.

Banyak anak muda meninggalkan karier dan pindah ke kota, di mana prospek untuk perkembangan ekonomi dan kehidupan yang lebih modern dimungkinkan.

Oleh karena itu, tenaga kerja di desa nelayan secara bertahap menyusut.

Desa Suttsu saat ini berpenduduk 2.885 jiwa, menurun hampir 5.000 jiwa dibandingkan tahun 1980.

Sedangkan Kamoenai hanya berpenduduk lebih dari 800 jiwa.

Menurut Bloomberg, kedua desa nelayan ini sangat terpengaruh oleh kemerosotan ekonomi selama pandemi Covid-19.

Kesepakatan untuk menjadi fasilitas penyimpanan limbah nuklir akan memberi manfaatbesar bagi desa-desa nelayan ini.

Jika penelitian pendahuluan tentang pembangunan fasilitas penyimpanan limbah nuklir diterima, desa tersebut dapat menerima hibah 19 juta dollar AS (Rp266 miliar) dari pemerintah Jepang, yang dicairkan selama dua tahun.

Baca Juga: Amerika Serikat Siap Ajak Musuh Abadinya Mulai Mengontrol Senjata, Kemarin Rusia Sekarang China, Apa Penyebabnya?

Jika fase pertama berjalan dengan baik, 66 juta dollar AS (Rp924 miliar) lagi akan dihabiskan untuk ditukar dengan survei lapangan selama 4 tahun dan latihan pendahuluan.

Jika semua berjalan lancar, desa tersebut akan menjalani masa evaluasi selama 14 tahun dan menerima lebih banyak dana.

Total investasi yang dapat diperoleh sebuah situs dengan menyetujui pembangunan fasilitas limbah nuklir mencapai 37 miliar dollar AS (Rp518 triliun).

Maka, pada Oktober 2020, petugas di dua desa nelayan Suttsu dan Kamoenai memutuskan menjadi calon potensial.

Namun, prospek untuk tinggal di dekat TPA nuklir menimbulkan protes dari warga di dua desa nelayan tersebut.

Limbah nuklir dapat mengandung zat beracun seperti uranium dan plutonium.

Pengunjuk rasa desa Suttsu bahkan telah mempromosikan referendum tentang desa yang bersaing untuk menampung limbah nuklir, meski usulan referendum ditolak.

Pejabat pemerintah Jepang mengatakan proses penilaian mereka dirahasiakan dan akan melindungi masyarakat setempat.

Namun, dalam wawancara dengan majalah Aera, Yugo Ono, seorang profesor geologi di Universitas Hokkaido, mengatakan bahwa risiko gempa bumi di daerah tersebut sangat tinggi dan dapat mengakibatkan kebocoran limbah nuklir ke lingkungan.

Artikel Terkait