Intisari-Online.com – Saat ini mungkin kita terlalu fokus pada penanganan pandemi virus Covid-19, sehingga terkadang kurang waspada dengan ancaman penyakit lain.
Tidak hanya penyakit degeneratif seperti darah tinggi, diabetes, hingga jantung, yang perlu diwaspadai, namun juga termasuk demam berdarah dengue (DBD) yang mengakibatkan banyak korban jiwa.
Kini, yang perlu diwaspadai, juga penyakit kusta, karena tren barus kasus penderitanya terus meningkat, bahkan sebagian anak-anak.
Kasus kusta pada anak mencapai 9,14 persen berdasar data Kementerian Kesehatan RI per 13 Januari 2021.
Baca Juga: Takut Dengan Prasangka dan Merasa Tertolak, Begini Sulitnya Jadi Mantan Penderita Kusta di Jepang
Angka tersebut belum mencapai target yang dibikin pemerintah yaitu di bawah 5%.
Plt Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dr.dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM. MARS mengatakan, prevalensi kasus baru kusta pada anak masih tinggi.
“Kasus pada anak, harus menjadi perhatian karena mereka akan bersekolah, risiko penularan pada teman-teman di sekolah dan dampak sosial yang ada."
"Ini harus menjadi perhatian bagaimana kita mengatasinya,” kata dr. Maxi dalam temu media Hari Kusta Sedunia Tahun 2021 yang digelar secara virtual, Jumat (29/1/2021).
Baca Juga: Perjuangan Hidup Abdul Wahab, Tak Patah Semangat Meski Derita Kusta Sejak Umur 8 Tahun
Sekretaris Kelompok Studi Morbus Hansen Indonesia (KSMHI) Perdoski dr. Zunarsih Sp.KK menjelaskan, kusta merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (mycobacterium leprae). Kusta menular melalui saluran pernafasan.
Gejala awal kusta ditandai dengan timbulnya bercak merah ataupun putih pada kulit.
Apabila tidak diobati, penyakit kusta berpotensi menimbulkan kecacatan yang seringkali menyebabkan diskriminasi baik kepada penderita maupun keluarga.
“Kalau mereka tidak segera ditemukan dan diobati, itu akan mendapatkan stigma dan diskriminasi seumur hidup. Kalau kondisi tangannya sudah putus-putus, sudah kiting."
"Bagaimana dia bisa sekolah dengan baik, saat dewasa bagaimana mereka bisa bekerja dengan baik,” terangnya.
Sebagai langkah penanganan, Direktur Penegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid mengatakan, Kemenkes menerjunkan kader di Puskesmas untuk melakukan penemuan kasus sedini mungkin agar bisa segera diobati.
Skrining dilakukan di rumah, sekolah maupun lingkungan sekitar.
“Kami biasanya melakukan pemeriksaan di anak sekolah, ini terintegrasi dengan program UKS. Jika kita temukan anak positif kusta, kita bisa lakukan pemeriksaan kontak khususnya keluarganya atau gurunya di sekolah,” ucap dr. Nadia.
Selanjutnya, dilakukan pengobatan kepada penderita. Ada dua tipe kusta, yakni kusta tipe basah yang harus minum obat selama 12 bulan.
Sedangkan untuk tipe kering harus minum obat selama 6 bulan. Untuk itu, kepatuhan penderita mengonsumsi obat adalah kunci menyembuhkan kusta.
Hampir 17 Ribu
Siti Nadia Tarmizi juga menjelaskan tahun 2020 total kasus kusta di Indonesia mencapai 16.704.
Jumlah tersebut bertambah 9 ribu dari tahun sebelumnya. Dari total tersebut 9,14 persen penderita kusta adalah anak-anak.
Kebanyakan tertular dari orang dewasa yang tinggal bersama atau pengasuh di sekitarnya.
"Total kasus kusta di Indonesia ini ada 16.704. Perlu kita lihat bahwa proporsi kasus baru pada anak ini 9,14% yang angkanya masih cukup tinggi," ujar Siti Nadia. Pemerintah sampai dengan saat ini masih mengupayakan penyakit kusta dapat diturunkan jumlah penderitanya.
"Tahun 2021 Indonesia menargetkan dapat mencapai eliminasi kusta di 514 kabupaten kota," tutur dia. Sejauh ini dari data per 13 Januari 2021, sudah ada 26 provinsi yang mencapai eliminasi kusta.
Sementara, 8 provinsi belum seperti Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
"Ada 113 kabupaten kota belum mencapai eliminasi dari total 514 kab/kota yang tersebar di 22 provinsi di Indonesia," jelas dr.Nadia.
Baca Juga: Kusta: Penyakit Menular yang Paling Sulit Menular
Penyakit kusta di masyarakat masih dianggap hal biasa bahkan sering disebut sebagai penyakit guna-guna.
Nadia menjelaskan, banyak penderitanya tidak merasa terganggu dan tidak menyadari bahwa kemudian dirasakan adanya kelainan pada kulit seperti mati rasa yang sebenarnya ini adalah tanda awal kusta.
"Jadi kami menyampaikan kembali kalau ada masyarakat yang ada bercak kemudian dirangsang pada pencak tersebut tidak ada rasanya seperti itu ya kalau misalnya ditusuk dengan jarum kok nggak ada rasanya. Itu tanda awal dari kusta," jelas dia.
Jika tidak obati, akan menimbulkan kecacatan. Selain permasalahan penyakit sendiri masyarakat juga masih menganggap bahwa penderita kusta mendapatkan diskriminasi dan harus dijauhkan dari masyarakat.
"Dari masyarakat sekitarnya masih ada juga masyarakat yang menganggap bahwa kusta ini adalah karena kutukan atau guna-guna," tutur Nadia.(Tribun Network/rin/wly)
Baca Juga: Tidak Semudah Itu Tertular Kusta
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari