Penulis
Intisari-Online.com - Usia tidak bisa dijadikan patokan seseorang untuk bisa terus berjuang melanjutkan hidup.
Buktinya saja kepala Abdul Wahab boleh saja dipenuhi rambut putih.
Tubuhnya juga sudah tua dan renta, tetapi semangatnya tak patut diragukan.
Kakinya masih tetap kuat mengayuh sepeda bututnya. Sepeda itu dilengkapi keranjang di depan setang berisi buah-buahan segar, mulai dari jeruk hingga semangka.
Tempat duduk belakang sepeda didesain sebagai tempat untuk menaruh panci yang berisi kentang dan umbi-umbian rebus.
Setiap hari, lelaki 71 tahun ini mengelilingi Kampung Sitanala, Kelurahan Neglasari, Karangsari Tangerang atau yang dikenal sebagai Kampung Kusta untuk mencari rezeki.
Sudah 27 tahun Wahab mengandalkan pekerjaan ini. Sebagai eks penderita penyakit kusta, tak banyak pekerjaan yang bisa dia lakukan.
Tak mau berdiam saja
Namun, daripada berdiam diri, Ia memilih melawan kerasnya hidup.
Terkadang masyarakat umum masih enggan membeli kentang dan umbi-umbian rebusnya.
Wahab berpikir mungkin karena makanan rebusan itu dimasak langsung menggunakan tangan eks penderita kusta.
Kalau ada orang umum yang membeli dagangannya, kata Wahab, kebanyakan yang dibeli adalah buah.
Makanan rebusan lebih banyak dibeli oleh sesama penderita atau mantan penderita kusta di kampung itu.
"Kalau makanan ini sekitar sini saja (Kampung Kusta). Kalau buah-buahan, musim duku, sampai keluar (kampung), sepedaan."
"Kalau kayak begini kan kadang-kadang masyarakat luar agak bagaimana. Enggak beli," ucap Wahab.
Setiap hari Ia mulai berjualan dari pukul 09.00 hingga 16.00 WIB. Wahab akan berhenti sejenak ketika harus menunaikan shalat zuhur dan ashar.
Rutenya tak jauh, dari lorong ke lorong yang berada di Kampung Kusta.
Jika merasa lelah, Ia akan beristirahat sejenak di rumahnya yang terletak di lorong 8 Kampung Kusta.
Sebelum menjadi pedagang keliling, ayah dua anak ini sempat bekerja di konveksi selama 20 tahun.
Tempat konveksi itu memang sebagian besar mempekerjakan para penderita maupun eks penderita kusta.
Sejak berusia 8 tahun
Wahab menderita kusta sejak berusia teramat muda. Tanda-tanda awal kusta pun hanya dikira sebagai panu biasa.
Namun tanda berwarna putih itu kian menyebar di tubuh Wahab. Ia bahkan sering merasakan kata-kata ledekan dari teman sebayanya.
"Jadi kalau saya olahraga teman-teman bilang, 'Wahab itu di punggung kamu ada gambar peta'. Kalau panu biasa kan basah, kalau kusta itu kering."
"Jadi di tempat itu pori-porinya mungkin tertutup. Jangka waktunya lama timbul reaksi rasa panas," kisah Wahab.
Karena masih awam tentang penyakit kusta, Wahab dan keluarganya hanya menempuh pengobatan herbal dengan menggunakan obat-obat kampung.
Rupanya pengobatan ini cukup ampuh, kusta yang dideritanya sempat hilang. Namun, kusta menyerang lagi saat dia duduk di bangku SMA.
Saat itu Wahab dan keluarganya tinggal di Solo, Jawa Tengah, meski mereka berasal dari Palembang, Sumatera Selatan.
Dari gurunya di Solo dia tahu soal RS Sitanala yang menangani kusta. "Saya aslinya dari Palembang."
"Jadi waktu saya sekolah (di Solo), kata guru saya, 'Coba kamu ke Sitanala'."
"Mungkin guru tahu, kan dulu ada pelajaran ilmu kesehatan. Dari Solo baru SMA kelas 2, ke Jakarta," tutur Wahab.
Mati rasa dan kehilangan sebagian jari
Kusta yang diderita Wahab makin menyebar hingga menyerang saraf periferi. Tangan dan kakinya mati rasa.
Suhu makanan dan benda lain tak lagi terasa.
"Tangan, kaki juga, itu kulitnya jadi enggak berasa. Makanya harus pakai otak ini panas atau enggak (untuk mendeteksi suhu benda), karena enggak berasa," ujar dia.
Baca Juga: Ilmuwan Mengungkapkan Inilah yang Terjadi pada Organ Intim Anda Jika Mencukur Rambut Kemaluan
Selain mati rasa, jari di tangan Wahab tak lagi lengkap, juga karena serangan bakteri Mycobacterium leprae penyebab kusta.
Berobat ke RS Sitanala, Ia pun memutuskan menetap di Kampung Kusta.
Dia terus menjalani pengobatan rutin hingga dinyatakan sembuh pada 1989.
Yang dirasakan Wahab sekarang bukan lagi keluhan terkait kusta melainkan lebih banyak karena faktor usia. Misal, darah tinggi dan diabetes.
"Ya kebanyakan lambung, diabetes, darah tinggi. Biasa, penyakit orang tua," kata dia sembari tertawa.
Meski demikian, Ia tak ingin pindah dari Kampung Kusta. Wahab menikah di sini dan memilih menghabiskan masa tuanya di Kampung Kusta.
Aktif berkegiatan
Menjadi pasif karena penyakit kusta tak berlaku bagi Wahab. Ia mengaku lebih senang aktif berkegiatan.
Bahkan, dia pernah menjadi ketua rukun tetangga (RT) di Kampung Kusta.
"Ada jadi RT. Saya 15 tahun jadi Ketua RT. Saya, alhamdullilah di sini lebih banyak bergaul," ungkap Wahab.
Tak hanya menjadi ketua RT, Ia pun tertarik dengan dunia politik.
Wahab sempat bergabung bersama Partai Amanat Nasional (PAN) tingkat Kecamatan Neglasari.
"Saya (pernah) duduki ketua PAN di tingkat kecamatan. DPC. Saya pernah ketemu Amien Rais, terus istri Hatta Rajasa saya mengajukan waktu masih di partai," ucap dia dengan wajah berseri.
Aktif berkegiatan, ungkap dia, membuat orang-orang di luar lingkungan penderita kusta ikut terbiasa pula tak memandang rendah penderita atau mantan penderita kusta.
Tak mengherankan, Wahab pun menjadi salah satu tokoh yang cukup dipandang dan dihormati di Kampung Kusta.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Perjuangan Hidup Abdul Wahab, Tak Patah karena Kusta"