Intisari-online.com - Baru-baru ini Amerika terungkap jorjoran gelontorkan uangnya hanya demi membantu negara tetangganya lepas dari jerat utang China.
Menurut Asia Times, AS memutuskan untuk memberikan sumbangan berupa uang untuk membayar sebagian besar utang Ekuador ke China.
Laporan itu menyebutkan, Korporasi Keuangan Pembangunan Internasional (DFC) AS baru saja memberika 2,8 miliar dollar AS (Rp39 Triliun).
Uang ini diproyeksikan untuk membantu Ekuador melunasi sebagian utang negara dari benua Amerika itu dari China.
Menurut para ahli bantuan ini lebih bersifat politis daripada ekonomi, yang artinya Amerika memiliki tujuan khusus.
Pada 2018, DFC didirikan dan menjadi inti dari proyek pertumbuhan Amerika yang dikembangkan Departemen Luar Negeri AS.
Tujuan dari proyek inii adalah penggunaan modal pemerintah AS, dengan dukungan sektor swasta.
Bersaing untuk memperebutkan pengaruh China di seluruh belahan Barat.
Pertumbuhan ekonomi Ekuador adalah nomor dua yang terpenting adalah, Amerika inging mengecualikan pengaruh China dari politik di Amerika Latin.
Sejak 2018, Ekuador telah berjuang untuk mencoba membayar pinjaman sebesar 19 miliar dollar AS (Rp267 triliun) kepada China.
Ekuador menggunakan pinjaman China untuk membangun bendungan dan proyek jembatan, jalan raya, dan irigasi Coca Codo Sinclair yang kontroversial.
Coca Codo Sinclair Dam yang dibangun oleh China padahal baru digunakan Ekuador hanya beberapa tahun, meskipun biaya investasinya mencapai 2,6 miliar dollar AS (Rp36 triliun).
Bendungan itu membuat Ekuador sangat berhutang, ironisnya sebagian besar pejabat tinggi Ekuador yang terlibat dalam pembangunan bendungan itu dipenjara atau dipecat karena tuduhan korupsi.
Terlepas dari utang yang berisiko tinggi, Ekuador bergabung dengan Belt and Road Initiative (BRI) China pada Desember 2018.
Negara itu segera meminjam tambahan 900 juta dollar AS dari Cina (Rp12 triliun).
Sementara wabah Covid-19 menyebar ke seluruh dunia, krisis utang di negara berkembang menjadi masalah serius.
Ekuador diyakini memiliki utang luar negeri sebesar 52 miliar dollar AS (Rp732 triliun).
Pada pertengahan 2020, Ekuador mencoba meminjam lebih banyak uang dari China untuk membayar sebagian dari utang yang disebutkan di atas.
Harga minyak kemudian anjlok sehingga Ekuador hampir tidak dapat membayar kembali Beijing.
Ekuador yang sempat jadi raja minyak justru berubah menjadi raja utang, membuatnya menjadi negara miskin yang terlilit utang China.
Untuk memperpanjang sementara periode pembayaran, Ekuador harus mengizinkan perusahaan China seperti Huawei, Xiaomi, Alibaba dan BYD memperluas operasinya.
Pinjaman China ke negara-negara berkembang, seringkali disertai dengan keuntungan ekonomi, politik, atau bahkan militer, telah berulang kali dikritik oleh AS sebagai "perangkap hutang".
Namun, dengan bantuan AS untuk melunasi utangnya, Ekuador telah setuju untuk berpartisipasi dalam program "Jaringan Bersih (Clean Network)" untuk mengeluarkan perusahaan China dari infrastruktur telekomunikasinya.
AS membantu Ekuador untuk melunasi utang menjelang pemilihan presiden yang akan diadakan pada bulan Februari di negara Amerika Latin itu.
AS tampaknya ingin pemerintah Ekuador yang baru mengadopsi kebijakan pro-Washington dan berurusan dengan China, menurut Asia Times.
"Kami bangga bermitra dengan Ekuador untuk memperkuat hubungan dan proyek strategis dengan sekutu penting AS di Belahan Barat," kata Adam Boehler CEO DFC.
Boehler, dipercaya oleh meski mantan Presiden Trump yang digantikan oleh Tuan Biden.
Namun, perjanjian pembayaran utang membantu Ekuador dari AS tetap di tempatnya.
"Pembayaran kembali utang untuk Ekuador bukanlah prioritas Demokrat atau Republik saja, tetapi prioritas Amerika Serikat," kata Boehler.