Utang Indonesia Dilaporkan Sudah Tembus Rp6.000 Triliun, Pakar Perkirakan Tahun 2050 Indonesia Belum Bisa Melunasinya Meski Sudah Jatuh Tempo, Lantas Kapan?

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi uang.
Ilustrasi uang.

Intisari-online.com - Pandemi Covid-19 telah menyebabkan banyak negara ekonominya terpukul.

Termasuk Indonesia juga mengalami dampak ekonomi, dan mengalami pembengkakan utang.

Sementara itu, baru-baru ini jumlah utang Indonesia muncul ke publik.

Hingga akhir Desember 2020, Indonesia tercatat memiliki utang sebesar Rp 6.074,56 triliun.

Baca Juga: Afrika Memang Benar-benar Jadi 'Sarang Utang' China, Tunggakan Utang Negara Ini Memang Dihapus, Tapi Cengkeraman China Makin Kuat, Presidennya Malah Pasrah

Angka itu setara dengan 38,68 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Diberitakan Kompas.com, Minggu (17/1/2021), angka utang Indonesia ini didapatkan berdasarkan laporan APBN KiTa.

Dibandingkan 2019, nilai utang Indonesia meningkat Rp 1.296 triliun atau 27,1 persen.

Kapan utang itu akan terlunasi?

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance ( Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, Indonesia diperkirakan belum bisa melunasi utangnya bahkan hingga 2050.

Baca Juga: Bank Dunia Bocorkan Daftar Utang 120 Negara di Dunia, Indonesia Ternyata Masuk Daftar 10 Besar di Urutan Ini, Benarkah Utang Indonesia Sudah Sangat Mengkhawatirkan?

Menurut dia, ada utang yang akan jatuh tempo hingga 2050, termasuk global bond yang diterbitkan tahun lalu.

Namun, ketika jatuh tempo, utang akan dibayar dengan penerbitan utang baru, sehingga tak mungkin melunasi utang tersebut.

"Tidak ada kosa kata untuk utang lunas, karena ketika jatuh tempo akan dibayar dengan penerbitan utang baru," kata Bhima kepada Kompas.com, Minggu (17/1/2021).

Selain itu, model APBN yang didesain terus menerus defisit juga menyulitkan Indonesia untuk bisa keluar dari ketergantungan utang.

Dengan kondisi ini, hal yang harus dikhawatirkan adalah debt overhang atau overhang utang, yaitu kondisi ketika utang semakin berat sehingga membuat ekonomi sulit tumbuh tinggi.

Bhima mengibaratkannya dengan kapal. Saat kapal sudah kelebihan muatan, maka akan sulit bergerak cepat.

Baca Juga: Sering Dianggap Kolonialisme Abad Ke-21 Dengan Diplomasi 'Jebakan Utang', Data Ini Tunjukkan Jika Belt and Road Initiative China Malah Memang Membantu Benua Afrika, Bukan Ambisi Menguasai Dunia

"Karena tiap tahun bunga utang menyita 19 persen dari pendapatan negara, maka uang yang harusnya dibuat untuk belanja pendidikan, belanja kesehatan, dan pembangunan akan terbagi untuk membiayai pembayaran bunga utang dan cicilan pokok," ujar dia.

Oleh karena itu, ia menilai, sulit untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7-10 persen dan lepas dari middle income trap.

Ia menjelaskan, langkah terbaik yang harus dilakukan pemerintah adalah mengendalikan belanja pemerintah agar utang ikut terkendali.

Menurut dia, belanja yang sifatnya boros dan hanya menggemukkan birokrasi, seperti belanja pegawai dan belanja barang, harus dipangkas.

"Belanja infrastruktur yang tidak urgen juga bisa dipotong. Selain itu, belanja yang celah korupsinya tinggi memang harus ditertibkan," kata Bhima.

"Misalnya kemarin itu, saya setuju jangan bantuan sembako barang tapi dibuat transfer tunai untuk cegah korupsi bansos," lanjut dia.

Jika pemerintah bisa disiplin, Bhima mengatakan, beban pembayaran kewajiban utang setidaknya bisa ditekan.

Source: Kompas.com

Artikel Terkait